Thursday, December 25, 2014

Moore dan Sinterklas

YANG melihat televisi atau menonton film, akan kenal dengan tokoh ini. Clement Moore mulai mendeskripsikan tokoh jenaka yang ramah pada anak-anak ini jelang Natal 1822 dalam sajak yang ditulisnya. Moore bukan penyair. Ia guru besar teologi di sebuah sekolah tinggi Kristen di New York. Begitu tulis Goenawan Mohamad (GM) dalam Catatan Pinggir (Caping) bertajuk "Santa" di majalah Tempo 21 Desember 2014. GM menyebutnya sebagai "..makhluk asing yang tak disebutkan Injil. Ia produk Eropa yang dirakit di Amerika". Tokoh rekaan Moore itu awalnya dibacakan dalam lingkungan keluarganya sendiri lalu kemudian menyebar ke dalam hidup orang Amerika, bahkan dunia. Pertama ia diberi nama Santo Nikolas. Lalu berubah menjadi Santa Klaus atau yang juga kita kenal sebagai Sinterklas.

Selain tentang ini, banyak hal baru yang saya temukan dalam Caping GM ini. Misalnya, saat orang Protestan kuasai Inggris, parlemen di sana pada 1647 mengharamkan Natal. Menurut mereka, Natal adalah "festival kepausan" yang tak berdasar pada Alkitab. Di Boston (AS), Natal juga pernah dilarang selama 20 tahun sejak 1659. Kembali ke Sinterklas, mengapa pakaiannya merah dan putih? Konon itu muncul saat penampilannya dalam iklan Coca-Cola tahun 1940-an. Karena dikesankan sebagai penghuni Kutub Utara dan melanglang buana, pemerintah Kanada pada Desember 2008 memberi Santa Klaus status kewarganegaraan. Saya melihat, agama, mitos, politik, dan bisnis sudah jalin-menjalin dalam tokoh Sinterklas. Mungkin saya salah, tapi itulah pendapat saya. @aswan

Thursday, October 30, 2014

Dialog Dua Petualang

SORE ITU saya sudah berada di dalam sebuah bus di tengah kota. Berdiri. Ada kursi yang kosong, tapi tidak tega duduk di situ. Ada seorang ibu yang lebih membutuhkan. Ini yang asyik dari naik bis atau kereta. Kesempatan itu memberi peluang kepada setiap orang untuk menjadi “pahlawan”. Sok asyik ya? Atau jangan-jangan ini hanya cara saya menghibur diri karena pegal berdiri?!

Layaknya bus, di dalamnya ramai. Kali ini ajaib, tidak ramai-ramai amat. Jadi bisa mendengarkan percakapan seorang lelaki dengan perempuan imut yang duduk pas di depannya. Lelaki itu berdiri di dekat saya. “Kamu suka berpetualang?” tanya si perempuan dengan lebut. “Iya, tapi bukan di gunung atau pantai. Aku besar di tempat seperti itu,” kata lelaki tadi. Dia kemudian bercerita panjang. Saya lebih suka memperhatikan eksresi perempuan di depannya. Dia lucu. Wajahnya terlihat merona. Tiba-tiba perempuan itu memotong, “Aku juga suka berpetualang, tapi dalam dunia imajinasiku”. Mereka kemudian tertawa lepas bersama. Saya memalingkan wajah (biar tidak ketahuan kalau lagi nguping). Mungkin ini percakapan sepele, tapi buktinya mereka bahagia. @aswan

Thursday, August 28, 2014

Smart, Stylish, Cool

SAYA sudah berada di lantai 6 gedung IASTH Pasca Sarjana UI Salemba. Di depan, duduk beberapa guru besar, doktor, dan mahasiswa pasca yang berprestasi. IPK di atas 3,90 gitu. Ini semacam acara “Selamat Datang di Pasca Sarjana”. Yang menarik perhatian saya, tidak ada kesan kaku. Hanya dua orang guru besar yang disapa dengan awalan Prof. Maklum mereka memang super senior. Bahkan ada yang emeretus. Ada seorang doktor ajak ke depan untuk berbicara dengan panggilan Bang, bukan Pak. Semuanya berjalan alamiah dan sangat humanis. Wajah mereka, juga teman seangkatan pasca (S2-S3), tak ada yang nerd. Di sini stereotipe ekspresi kutu buku itu terbantahkan. Saya yakin mereka lebih cerdas dari saya. Lebih gaya dari saya. Dan sudah tentu lebih gaul daripada saya. Rasanya senang bisa masuk dalam komunitas berlabel SSC ini (Smart, Stylish, Cool). Oh ya, istilah tiga huruf itu muncul begitu saja saat berbalas pesan dengan seorang teman. Niatnya untuk menggambarkan di lapisan atmosfir mana saya sedang berada waktu itu. @aswan

Sunday, July 20, 2014

Sepasang Tangan Keberuntungan

BERARTI ada yang yang sial? Tidak gitu-gitu amat sih. Saat lihat dua lembar kupon yang menanti untuk diisi, saya tiba-tiba terpikir kalau mungkin ada tangan yang memang beruntung. Siapapun yang mengisi kupon pasti mengharapkan hadiah, bukan? Entah sudah berapa lembar kupon yang pernah saya isi, tapi yaa itu tadi, tidak pernah satu pun yang berhasil mengail untung. Dalam statistik, propabilitas kemenang dengan cara seperti itu memang sangat kecil. Apalagi bila yang ikut banyak sementara hadiah yang diperebutkan sedikit. Cuma itu tadi, hidup mengajarkan pada saya kalau ada orang yang memiliki tangan keberuntungan. Setiap kupon yang dia isi selalu berbuah hadiah. Mungkin orang seperti itu tidak banyak, tapi ada. Yang pasti orang itu bukan saya. @aswan

Wednesday, June 25, 2014

Memenangkan Rasionalitas Cinta



SINGKAT cerita, Sarah (yang diperankan Sandra Bullock) bertemu dengan Ben (Ben Affleck). Pertemuan yang hanya terjadi dua hari itu menggoyahkan niat Ben untuk menikah. Padalah dia sedang dalam perjalanan menuju sebuah kota di mana calon mempelai perempuan beserta keluarganya menunggu karena pernikahan sebentar lagi dimulai. Film berjudul Forces of Nature (1999) berkisah tentang keadaan yang menjadi penghalang sebuah pernikahan. Hujan badai, pohon tumbang, kecopetan dalam perjalanan dan bertemu dengan perempuan lain di saat yang tidak tepat. Perempuan yang membuat Ben sempat jatuh cinta. Sarah juga demikian. Tidak seperti film Hollywood lainnya yang memenangkan perasaan cinta, cerita ini justru mengingatkan pentingnya akal sehat. Cinta tidak mesti selalu diartikan "menjadi bodoh bersama-sama", bukan?! @aswan

Sunday, June 22, 2014

Cinta yang Dikondisikan

MUNGKIN cinta bisa dikondisikan. Maksudnya manusia dapat menciptakan sebuah keadaan yang memungkinkan tumbuhnya cinta antara lelaki dan perempuan. Pernah nonton film kartun Doraemon? Yang punya kantung ajaib dan baling-baling bambu itu kan? Right. Kepada siapa Nobita begitu terobsesi? Sizuka! Nah, itu yang saya maksud. Nyambungnya di mana? Begini, karena dalam kesehariannya sang sutradara mengkondisikan Nobita untuk selalu bertemu Sizuka, di situlah tumbuh cinta yang terkondisikan. Padahal sutradara bisa mendekatkannya dengan tokoh anak perempuan lain. Obsesi pada Sizuka seperti ini bisa berdampak sistemik pada tumbuh kembang mental Nobita. Mungkin niat sutradara untuk menggambarkan kesetiaan seorang bocah. Tetapi ini bisa bahaya kalau disalahartikan oleh anak-anak. Sebagai sesama lelaki, saya sangat prihatin. Kasihan Nobita. @aswan

Wednesday, June 18, 2014

Hujan Bulan Juni

NAMANYA Sapardi Djoko Damono. Orang mungkin mengenalnya dari sajaknya yang berjudul Aku Ingin. Yup. Saya juga sepertinya pertama kali suka sama puisinya dari situ. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan..." Indah sih. Apalagi untuk mereka yang sedang kasmaran dan tidak punya cukup nyali menyatakannya. Hehehe... Tapi Sapardi tidak sesederhana kata dalam puisinya tadi. Ia guru besar. Dapat penghargaan di sastra dunia. Sajaknya diterjemahkan ke bahasa bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugis, Arab, China, Jepang, Korea, Thai, dan Hindi. Saya juga baru tahu kalau sajaknya juga ditulis dalam bahasa Jawa dan Bali. "Hujan Bulan Juni" salah satu judul kumpulan puisinya yang beberapa kali diulang cetak. Recommended!  @aswan

Friday, June 13, 2014

Demokrasi: Have Fun

POLITIK itu seni untuk kekuasaan. Orang awam mungkin kelihatannya serius, jadi terlalu berlebihan jika menggunakan kata "seni". Tapi jika perharikan apa di balik politik, kita akan temukan kalau sebenarnya itu hanya "main-main" para elit. Mereka mengajak orang kecil seperti saya dan beberapa lainnya untuk itu bermain. Makin banyak yang ikut "bermain", makin kuat keabsahan hasilnya. Jadi tidak usah berpolitik nih? Eh jangan. Kita mesti ikut dengan segala kesadaran. Kalau apolitik, jangan-jangan kita malah jadi mainan elit. Karena demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan memilih, jadi have fun saja. Serius, tapi tidak serius-serius amat. Dukung siapa calon yang kita suka, tapi tak perlu jadi semacam die hard fans juga. It's just a game. @aswan

Monday, June 9, 2014

Momo dan Raisa

TIAP kali dengar suara Momo (vokalis Geisha) bawakan “Lumpuhkan Ingatanku”, saya selalu ingat Denpasar. Emang ketemuan di sana? Secara resmi tidak, tapi secara teknis sih iya. Di kunjungan kedua saya ke Bali, hits itu booming. Diputar di radio seantero Denpasar. Artinya secara audio, saya 'ketemu' Momo di sana. Halah, ribet! Kenyataannya kan memang begitu. Dan di suatu pagi hujan, setelah membaca artikel tentang Momo, saya tiba-tiba ingin membandingkannya dengan Raisa. Dalam persepsi saya, jika disederhanakan menjadi tiga kata, Raisa itu: perfeksionis, jazzy, friendly. Sementara Momo: lugu, pop, misterius. Kelebihan Momo ada pada karakter vokalnya yang khas. Sementara Raisa punya kemampuan 'mengendalikan' liuk suara. Gimana, sudah terdengar meyakinkan analisisnya? Ini orisinal lho?! ;) @aswan

Sunday, June 8, 2014

Neon in Black

KALAU cara berpakaian itu menjadi salah satu matakuliah, saya termasuk mahasiswa yang akan selalu mengulang. Susah sekali mengkombinasikan pakaian yang enak dipandang. Sulit klik! Mengakurkan baju, celana, dan sepatu yang saya kenakan sama ribetnya seperti menjinakkan tokoh Tuan Krab, Squidward, dan Plankton di kartun SpongeBob. Tidak sadar fashion? Bukan “tidak”, mungkin “belum”. Lengkapnya, belum sadar fashion. Mesti diguyur air apa ya biar siuman? Nah itu dia masalahnya. Sementara ada beberapa orang berpakaian dengan cara memukau meski bahan yang digunakan terlihat biasa saja. Saya juga malah masih belum percaya bisa lihat orang berpakaian ala Neon in Black. Maksudnya, begitu menonjol karena warna atau modelnya, tetapi tetap percaya diri. Mereka makan vitamin apa? @aswan

Saturday, June 7, 2014

Pasang Jempol Saja

BULAN ini kami bertemu sebuah 'mesin'. Teman-teman di kampus menyebutnya "Finger Print". Tapi saya kok lebih suka menamainya: "Finger Scan". Ini mesin absen kedua yang dipasang di Fakultas. Dan saya merasa seperti buruh pabrik. Ciee... yang merasa? Absen pagi dan sore,  setiap hari kerja. Apa itu bukan cara mengukur produktivitas zaman revolusi industri? Jadul banget kan?! Yang nakal, yaa pasang jempol saja. Tidak perlu ngajar. Nanti sore muncul lagi buat ngabsen. Yang rajin seperti saya (ehem), pindai jempol hanya pada saat ada jadwal ngajar. Kalau tidak ngajar, mo ngapain coba? Wi-fi gretong, kantin yang nyaman dan menggoda, apalagi perpustakaan yang penuh dengan atmosfir ilmiah: Nope! Eh ini gerutu rasa curhat ya?!  @aswan

Friday, June 6, 2014

Kaos Merah Kuning

KETIKA militer melakukan kudeta yang ke-12 kalinya pada Mei 2014, ada aturan unik di Bangkok. Jam malam? Yang itu jangan ditanya: pasti ada di setiap kudeta. Jadi? Saya baca di koran kalau masyarakat dilarang berkaos Merah atau Kuning. Itu penanda para pendukung dua kubu yang berseteru di Thailand. Ceritanya nih, tentara di sana keluarkan aturan itu untuk meminimalisir perseteruan antar pendukung elit. Untungnya, rakyat Bangkok cerdas. Dress code tidak penting bagi mereka. Yang dipertanyakan justru alasan tentara lakukan kudeta. Meski rakyat menentang kudeta, Raja malah mendukungnya. Di sana, titah Raja itu mirip wahyu. Ketika tentara berhasil mengambil hati Raja, semuanya akan baik-baik saja. Daaan... pemilu baru akan diadakan setahun kemudian. Taraaaap!!!! @aswan

Thursday, June 5, 2014

Penembakan di Benubenua

HUJAN deras turun saat mobil kami melintas lapangan Benubenua Kendari, Rabu pagi di awal Juni. "Tahun 65, ada pertandingan bola di sini," kata ayah kepada saya sambil menunjuk lapangan itu. Dia mengisahkan, kesebelasan dari Baubau bertanding melawan Kendari. Sesaat kemudian, sedikitnya dua suara tembakan meletus. Pemain bubar. Penonton apalagi. Beberapa pemain lari bersembunyi ke rumah warga. Di sana mereka mengganti pakaian, lalu keluar rumah membaur seperti warga biasa. Gubernur Sulawesi Tenggara Laode Hadi ikut menonton. Sebrutal itu? Meski ada gubernur? Dia bilang, begitulah kondisi era 65an. Beberapa orang miliki senjata api. Selain tentara, para mantan pemberontak DI-TII juga punya. Hufff.. rasanya tidak mudah lewati hidup seperti yang ayah saya pernah jalani. @aswan

Wednesday, June 4, 2014

Si Payung Fantasi

SIAPA gerangan dinda… bidadari dari surga? Ataukah si burung kenari, si pembawa harapan pelipur hati. Kalimat pembuka/penutup tadi/nanti adalah penggalan lagu “Payung Fantasi” gubahan Ismail Marzuki. Mei 2014 ada konser yang digelar untuk mengenang 100 tahun kelahiran komponis hebat ini. Tetapi saya lebih suka menyebutnya jenius, karena komposisi yang digubahnya seolah abadi. Awalnya dibawakan dengan gaya Melayu, seiring waktu, beberapa karyanya masih dapat diterjemahkan dalam beragam bahasa musik, seperti jazz, rock, pop, dan (sudah pasti) keroncong. "Juwita Malam", "Aryati", "Rindu Lukisan", "Bandung Selatan di Waktu Malam" atau "Sepasang Mata Bola". Itu antara lain buah tangannya. Payung fantasi arah kemana dituju, hey-hey tunggu dulu… Bolehkah aku melihat seri wajahmu, hey-hey aku rindu… @aswan

Tuesday, June 3, 2014

Debat yang Hebat

DEBAT itu menguras emosi. Saya lebih suka berdiskusi. Ngaku saja, tidak bisa debat kan? Kok tau? Saya merasa tidak bisa berdebat sejak SMA. Sejak itu pula saya menghindari debat. Apa bedanya debat dengan diskusi? Debat itu targetnya menang. Diskusi tujuannya mencerahkan. Debat libatkan argumentasi dengan warna emosional yang kental. Diskusi juga melibatan argumentasi tetapi dengan kepala dingin dan membuka kemungkinan untuk menerima pendapat pihak lain. Open mind gitu. Tapi label diskusi tidak selamanya "aman". Dalam praktiknya, ada juga diskusi yang menjadi liar dan berkembang menjadi debat. Atas alasan apapun, saya juga tidak berminat menonton debat. Meski gratis? Yup. Kalau dikemas ala battle comic di panggung Stand Up Comedy, itu baru hebat! @aswan

Monday, June 2, 2014

Atas Nama Adrenalin



CEDERA yang akibatkan kematikan adalah risiko terburuk bagi petinju. Bukan itu saja, masih banyak risiko gangguan otak lain yang membayangi mereka. Sebut saja parkinson. Saya sendiri belum dapat menemukan alasan mengapa pertandingan tinju disebut olahraga. Semangat olahraga untuk menyehatkan, bukan? Betul ada risiko cedera di setiap cabangnya, tetapi tidak ada yang seperti tinju: nyaris disengaja. Sudah nonton film Real Steel (2011)? Andai itu betul ada, jadi tidak perlu manusia yang diadu seperti ayam (lalu orang pintar memberinya label “olahraga”). Di atas ring hanya akan ada dua robot yang beradu. Risiko terburuk: robot rusak. Masih bisa diperbaiki atau buat baru lagi. Nyawa dua manusia terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi adrenalin. Ini versi saya. @aswan

Sunday, June 1, 2014

Indah yang Praktis

PRINSIPNYA sederhana: Jangan mengubah bentuk asli. Sulam alis?! Secantik apapun dibuat, bagi saya tidak indah. Implan payudara?! Seproporsional apapun silikon yang ditanam, toh akan ketahuan. Itu juga tidak indah. Maaf karena pengetahuan saya terbatas, hanya itu yang bisa saya sebutkan. Eh tambah satu lagi ding: mewarnai rambut. Terlihat indah sebenarnya praktis. Sepraktis mengenakan pakaian. Semudah memasang sepatu. Semua yang ditakdirkan indah, pasti akan terlihat indah. Butuh pengetahuan juga sih, tapi tidak ribet-ribet amat. Sense of art yang lebih bermain. Bagaimana kalau mencoba tampil apa adanya tetapi tidak terlihat indah (juga)? Jangan salah, itu tetap indah kok. Keadaan itu mengasah keindahan hati karena kita dikondisikan untuk sabar menanggung beban belum terlihat indah. @aswan

Saturday, May 31, 2014

Manusia Berambut Merah

"SAYA kurang percaya diri hari ini." Begitu katanya. Sebelum saya bertanya, dia langsung menyebut alasan: Rambutku hitam polos, kemarin belum sempat diberi pewarna. Oh benar juga. Saya baru sadar, kalau makhluk imut ini biasanya tampil dengan rambut yang sedikit dicat kuning kemerahan gitu. Dia seperti menunggu, seolah minta komentar. Maka berkomentarlah saya layaknya pakar mode. “Tetap cantik kok dengan rambut hitam. Asli. Bukan artifisial.” Dia hanya senyum. Mungkin sambil membatin: You lie to me. Hehehe... Harusnya mereka yang berambut hitam itu bersyukur. Karena secara genetik, menurut riset Outcomes Research Consortium: pemilik rambut merah (ala ras Eropa) butuh 19 persen gas lebih banyak saat anastesi. Mereka sangat peka pada rasa sakit. Nah?! @aswan

Friday, May 30, 2014

Kentut Tanda Cinta

IDE ini muncul begitu saja saat saya membaca tulisan Butet Kertaradjasa. Judulnya lupa. Maaf-maaf nih ya kalau terkesan jorok. Tapi ini jujur. Mungkinkah seseorang dapat kentut dengan bebas jika berada zona non-personal? Sudah pasti jawabanya: tidak. Kentut di sebelah orang yang tidak dapat menerima kita apa adanya, sama dengan bunuh diri. Sementara kita semua sadar kalau kentut itu urgen. Jika sudah mendesak, harus segera dipenuhi. Jadi tidak berlebihan kan jika saya menyebut kentut itu tanda cinta?! Baik dengan atau tanpa suara yang menggelegar. Baik dengan atau tanpa aroma yang menyengat. Jadi, tidak mesti dengan bunga. Menakar cinta bisa juga dengan kentut. Yuk, mariii.... @aswan

Tuesday, May 27, 2014

Berjalan di Tanah

KAPAN terakhir kali Anda berjalan telanjang kaki di atas tanah? Beberapa kota memang sudah menyediakan fasilitas umum yang memungkinkan para pejalan untuk menikmati sensasi pijat telapak kaki. Di taman kota, di bangun jalur dengan kerikil yang tertata berdiri. Tapi bagi saya hal itu belum membantu. Masih ingatkah kita rasa gumpalan tanah yang bergesekan dengan telapak kaki? Atau sensasi yang ditimbulkan dari sentuhan rumput liar yang saat pagi masih berteman embun. Kadang saya berpikir, alam sebenarnya selalu menyediakan kesempatan pada kita untuk menyatu dengannya. Saat dekat, kita akan belajar memperlakukan mereka dengan cara yang selayaknya. Bukankah mereka juga makhluk seperti kita?! Saat kita menghormati mereka, mereka akan menjaga kita. @aswan

Monday, May 26, 2014

Menerjemahkan Move On

MENURUT si Bungsu, move on artinya “maju menyala”. Kok bisa?! Katanya, move berarti “maju”. Sementara on itu menandakan posisi saat lampu sedang dinyalakan. Kami tercengang dengan "temuannya". Luar biasa! Saya dan kakaknya kompak menertawai logika naifnya. Dia pasang muka cuek. Sehari berlalu, otak saya yang semakin tua ini baru mulai berfungsi dengan baik. Hmmm... move on yang dia artikan "maju menyela" itu tidak boleh secara harfiah. “Maju” berarti bergerak ke depan. Karena keterbatasan kosa katanya, kata “menyala” kan sepadan dengan sesuatu yang mencerahkan. Jadi secara filosofis, anak kelas 3 SD ini ingin menyebut bahwa move on itu berarti "bergerak ke depan, ke arah yang mencerahkan". Gimana, gimana, gimana... boleh juga ya?! @aswan

Sunday, May 25, 2014

Seperti Baju Putih

MESKI suka, saya jarang pakai baju putih. Tanya kenapa? Menjaga baju putih agar tetap putih itu butuh kehati-hatian. Perhatian ekstra. Lengah sedikit: Blas! Bisa dicuci sih, tetap saja beda dengan warna aslinya. Jangan percaya dengan sabun cuci yang katanya bisa buat pakaian putih terlihat seperti baru. Sebaik-baik klaim atau kenyataan klain mereka, tetap saja baju putih selalu tidak akan bisa seputih aslinya. Kecuali memang tidak pernah dipakai. Saya pakai baju putih biasanya pada saat shalat (kemeja) atau pada saat keluar ke tempat yang bisa dijamin “steril”.  Dan hidup itu seperti menjaga baju putih yang kita kenakan. Setiap hari, ada-ada saja keadaan (baca: godaan) yang dapat memudarkan keputihannya. Keputihan?! Eh maksudnya, memudahrkan warna spiritual kita yang fitrahnya putih. Gitu. Sekian sok tahu dari saya. @aswan

Friday, May 23, 2014

Film yang Menyatukan

KAMIS sore. Ini rencana dadakan yang muncul di kepala. Entah mengapa, anak-anak setuju. Nyonya juga oke. Hmm.. tidak biasanya kompakan seperti ini. Padahal besok saya harus presentasi. Materi belum disiapkan. Si sulung juga harus presentasi untuk karya tulis ilmiahnya. Malam ini mau latihan. Yaa sudahlah.. Pura-pura lupa saja. Target kami sederhana: Marmut Merah Jambu. Deretan kursi bioskop sudah nyaris penuh. Tumben baris paling belakang masih kosong. Jarang-jarang kami bisa nonton bareng sekeluarga. Terakhir nontonnya Spiderman. Berselang setahun lalu. Tidak seperti saat Spiderman, kali ini si bungsu tidak banyak bertanya. Malah lebih sering tertawa. Mungkin karena alur ceritanya sederhana dan berbahasa Indonesia. Saat keluar dari bioskop, di tempat parkir si bungsu bilang: Pa, besok nonton film ini lagi ya?! @aswan

Thursday, May 22, 2014

Riwayat Bantal Guling

ALKISAH, pada awal ditemukan bantal, guling belum lahir. Tradisi memeluk bantal guling di Indonesia itu nanti ada saat abad ke-18 atau 19. Konon orang Belanda yang “menciptakannya”. Karena hal ini tidak lazim dalam budaya Eropa dan Amerika, orang Inggris menyebut bantal guling dengan nama Dutch Wife. Sebenarnya ini olok-olok pelit yang mereka berikan kepada bangsa Belanda. Daripada menikahi orang pribumi di tanah jajahan, mereka lebih baik menciptakan bantal sebagai pengganti istri. Meski mengejek “penemunya”, orang Inggris ternyata suka juga menggunakan guling. Sekarang giliran orang Belanda yang menamai guling: British Doll. Oh ya, pada awalnya guling hanya dimiliki oleh para priyayi (baca: masyarakat kelas atas). Bukan di Indonesia saja, guling juga bisa ditemukan di Korea, Cina, dan Jepang. @aswan

Wednesday, May 21, 2014

Dosen Itu MC

TIDAK seperti biasanya, Senin itu pertemuan di kelas Fotografi saya akhiri dalam kurang dari 30 menit. Setelah 6 kali pertemuan, belum terasa antusiasme mereka. Bagi saya, dinamika kelas itu harus dua arah. Kalo dosen yang semangat sendiri, terlihat seperti orang cerdas yang sedang bicara dengan alang-alang. Si dosen menggebu-gebu seperti mabuk, mahasiswanya gondok! Setelah kelas bubar saya baru sadar kalau di luar kelas, sudah menunggu dua orang mahasiswa pasca sarjana. Rupanya mereka ingin belajar metode riset. Pada prinsipsinya, jangan paksa tamu untuk makan di pesta di mana Anda jadi pemandu acaranya. Sajikan saja. Kalau lapar dan tertarik, mereka akan mencari meja makan. Iya kan?! @aswan

Tuesday, May 20, 2014

The Amazing Williams

KEMARIN sempat beli CD audio Andy Williams. Lumayaan... diskon. Oh ya, kalau belum kenal, boleh googling. Hehehe... maaf-maaf nih. Masalahnya opa Williams mulai bernyanyi dan terkenal di medio 1950an. Coba cek bagaimana dia bawakan: Can't Take My Eyes Off You, Moon River, Stranger in the Night, As Time Goes By, atau Misty. Tanpa iringan musik pun suaranya tetap asyik didengarkan. Ini yang disebut: Golden Voice. Bandingkan dengan penyayi yang datang di era digital. Syarat utamanya, penampilan menarik dan atraktif saat disorot kamera. Kualitas suara jadi nomor sekian. Bisa disamarkan kok dengan instrumen musik atau teknologi audio mixing. Mengapa penyayi bersuara emas tak lekang dimakan waktu? Jawabannya kurang lebih sama dengan pertanyaan: Mengapa kicau burung tetap indah didengarkan di setiap generasi? @aswan

Monday, May 19, 2014

Olok-olok yang Mencerahkan

PAGI itu saya betul-betul menikmati Stand Up Comedy via Youtube. Suka para komik yang otak kanannya sangat bagus. Apa saja bisa jadi lelocun. Bahkan sebuah olok-olok untuk dirinya sendiri. Mereka juga kerap bisa mengajak kita untuk menertawai hal-hal yang mungkin terlihat biasa saja tapi ternyata tolol. Stand Up Comedy itu cara melawak yang cerdas. Hanya mereka yang memiliki intelektualitas khusus yang bisa membuatnya. Juga yang bisa tertawa karenanya. Sttt.. ini bukan pesan promo. Tapi semata-mata untuk mencitrakan kalau saya itu orang yang berselera cerdas. Hehehe... Eh tapi benar, dibutuhkan tingkat kepandaian tertentu untuk dapat menikmati lelucon tertentu. Setiap humor punya kelasnya sendiri-sendiri. @aswan

Sunday, May 18, 2014

Sebut Saja Keberuntungan

BELUM terlalu siang. Hari itu Sabtu. Satu SMS masuk: Lagi ngapain? Tanya si pengirim. Saya jawab jujur saja: Lagi menatap isi dompet yang pergi tanpa kabar. Kembali kagak. Apalagi ngarep mereka pulang. Dia menjawab dengan he-he-he-he. Saya menerima SMS balasannya sambil meringis. Coz this based on true sorry lho?! Bukan bermaksud tidak bersyukur, cuma kadang pengen saja rasakan sebulan (setahun, atau selamanya juga boleh) tidak punya masalah dengan isi dompet. Para miliarder itu cara dapat duitnya gimana ya? Rajin dan pekerja keras?! Ah tidak juga. Penyapu jalan di depan sekolah anak saya rajinnya minta ampun. Pedagang keliling yang selalu melintas depan rumah, kurang kerja keras apa lagi mereka? Mungkin rejeki lebih merupakan nasib baik. Atau sebut saja keberuntungan. @aswan

Saturday, May 17, 2014

Es Rasa Feminin

MENGAPA iklan es krim di tv selalu menampilkan perempuan? “Tidak selalu, Om.” Timpal teman anak saya. Dia lalu menyebutkan beberapa iklan es krim yang juga tampilkan lelaki sebagai model. Hmmm... iya juga sih. But most of all pasti melibatkan perempuan, kan. Pasti ada adegan si wanita berbibir seksi menggigit sepotongan ujung es krim. Pasti ada close up yang tunjukkan ekspresinya yang begitu menikmati potongan coklatnya tadi. Seolah sedang mengunyah hidangan dari surga. Sebagai lelaki, saya kadang jadi risi jika makan es krim di depan publik. Seperti sedang mengenakan properti feminin. Bayangkan jika Anda melihat lelaki tulen yang dipaksa pake lipstik. Nah, seperti itu tuh lebih kurang rasanya. @aswan


Friday, May 16, 2014

Perkara Seratus Perak

DAMPAK dari belanja pake uang tunai di swalayan. Kasir mengembalikan uang belanjaan kurang seratus perak. Harusnya Rp300. Dia hanya beri koin Rp200. But it's ok. Mungkin tidak punya pecahan uang Rp100. Sejurus kemudian saya kembali masuk dan keluar melewati kasir yang sama. Tadi lupa tissu. Sekotak harganya Rp10.300. Saya bayar dengan selembar uang sepuluhribuan dan koin Rp200 (tadi). Si kasir diam menatap. “Uang saya masih ada seratus rupiah kan di dalam?” Saya mengangkat alis. Senyum sok manis sambil menunjuk mesin kasir. Eskpresi kasir datar. Ini bukan masalah pelit lho ya?! Kalau tadi saya tidak keberatan dia menahan uang seratus perak saya, kok sekarang dia jutek karena saya meminta uang tadi diikutkan dalam transaksi kali ini? Itu masih milik saya kan?! @aswan

Thursday, May 15, 2014

(Tidak) Mandi Pagi

BERAPA kali dalam sehari Anda mandi? Saya baru tahu kalau seorang teman hanya mandi sekali setiap hari. “Ini green life style. Biar stok air di bumi tetap terjaga. Tidak mubazir.” Jawabannya politis dan sok aktivis gitu kan?! But anyway, saya juga baru tahu, ini juga dari cerita dia. Entah ngeyel atau benar. Katanya, orang-orang di Eropa dan AS, hanya mandi sekali. Pada malam sebelum tidur. Biar segar. Jadi pas bangun tidur, mereka tinggal gosok gigi lalu ke kantor. Tidak perlu mandi lagi. “Di film-film Hollywood gitu juga kan?!” Saya hanya mengangguk-angguk dengar pertanyaan retorisnya. Hmmm... ada yang mau coba?! @aswan

Wednesday, May 14, 2014

Tanpa Telepon Pintar

HAMPIR sebulan tidak ditemani Jevlin, Blackberry tua saya. Sisi positifnya, beberapa kesibukan berkurang. Tidak perlu cek  BBM apalagi ganti DP atau status. Tidak usah bergegas balas mention Twitter atau Path. Tidak perlu dua hal lagi. Ini yang paling berat: Isi pulsa dan beli paket internet. Bukan gak modal ya, ini irit Men! Tanpa telepon pintar saya juga merasa lebih manusiawi secara sosial. Bisa ajak ngobrol orang lain tanpa tergoda untuk melihat gadget. Kalau mereka enggan berbicara, saya bisa baca buku atau majalah. Tanpa membaca, beberapa detail itu di sekitar kita itu juga indah untuk dinikmati. Yaa, itu semua alasan saya tetap bahagia. Setidaknya sampai berhasil membeli iPhone. @aswan

Tuesday, May 13, 2014

Dad Manual Book

TIAP orang punya tanggal yang jadi penanda hidup. Hari ini (13 Mei) adalah tanggal yang jadi pengingat saat saya pertama kali berperan sebagai ayah. Memang tidak mudah. Saat Anda menjadi ayah, tidak ada manual book untuk itu. Untuk hal yang punya buku panduan saja, kita sering kerepotan menanganinya. Apalagi yang tidak. Belajar jadi ayah secara otodidak itu pun super ribet. Pertama, karena yang Anda hadapi adalah bagian dari diri Anda sendiri. Meski begitu, uniknya, dia bukan Anda. Kedua, ketika Anda ingin belajar dari orang lain, belum tentu berhasil. Alasannya sederhana: karena anak Anda tidak pasti sama dengan anak mereka. @aswan

Saturday, May 10, 2014

Meja Kerja Khusus

PEKERJA kantor wajar kalau punya meja khusus. Kemarin waktu berkunjung ke ruang kerja seorang teman di Makassar, saya melihat meja kerja bersisian dengan meja komputer. Kursinya empuk. Cocok sangat layat untuk jabatannya sebagai wakil direktur. Di sisi kanan meja kerjanya, ada rak buku. Keren juga sih. Entah pengakuan ini keren atau tidak: saya tidak termasuk orang yang punya meja kerja. Mungkin tepanya: tidak kepingin. Rasanya membosankan, setiap waktu duduk di belakang meja yang sama untuk bekerja. Monoton sekali. Di rumah saya juga tidak memiliki meja kerja. Selain di WC, saya bisa mengetik di mana saja. Beberapa tulisan di blog, saya tulis di meja makan. Untuk tulisan ini, saya buat di atas meja tamu. @aswan

Wednesday, May 7, 2014

Pembelaan untuk LDR

BERSAMA dalam waktu yang lama itu tidak selamanya baik. Kadang berpisah (baik-baik) itu jauh lebih seru. Tiba-tiba telepon berdering. Dari seorang mantan teman penyiar saat masih di Makassar. Sudah 15 tahun kami tidak bertemu. Dia sibuk dengan bisnis propertinya. Sementara saya pindah kota, lalu ngajar di sebuah Perguruan Tinggi. Teleponnya mengajak lunch. Ini bukan kencan, Guys. Kami reunian. Teman-teman mantan penyiar radio yang lain juga hadir. Andai masih tetap siaran di radio, mungkin tidak banyak peristiwa yang bisa jadi bahan olok-olok di mobil dalam perjalanan ke dan dari rumah makan. Celoteh lepas di meja makan pun tidak akan seasyik ini kalau antara kami masih ada sekat atasan-bawahan, senior-yunior. Memang sih secara langsung tulisan ini tidak nyambung dengan judul. Apalagi kalau dilihat dalam konteks cinta. Tapi pesan moralnya tetap sampai, kan? Hehehe... Piss! *ngacung dua jari. @aswan

Tuesday, May 6, 2014

Makna Sebuah Tanggal

AWALNYA saya pikir sebuah tanggal itu miliki makna personal yang seragam. Sebut saja tanggal lahir. Begitu pentingnya sampai ada orang yang merayakannya. Kalau tidak dirayakan, setidaknya mereka merayakan untuk diri mereka sendiri. Atau mungkin (dalam hati) mengharapkan orang dekat di sekitarnya memberi ucapan, kado, kejutan, atau apalah namanya.  Dan itu betul, meski tidak sepenuhnya betul. Saya baru saja menemukan seorang teman yang lupa menyampaikan selamat ulang tahun pada istrinya. Dia baru ingat nanti setelah seminggu berlalu. Istrinya marah? Tidak. Berarti mereka pasangan yang tidak bahagia? Tidak juga. Saya tahu persis karena pasangan suami istri itu sahabat saya sejak kuliah. Kok bisa? Tentang “makna”, apa sih yang tidak bisa kalau kita sepakat?! @aswan

Thursday, May 1, 2014

Topi dan Buruh

NAMANYA “pileus”. Topi yang tampak sederhana itu ternyata simbol kebebasan buruh di Yunani dan Roma. Bentuknya menyerupai tempurung kepala manusia. Topi sendiri dipercaya sudah ada sejak abad 8 hingga 6 sebelum masehi. Perkiraan waktu ini diambil dari bukti lukisan sebuah makam di Thebes, suatu kota di Mesir Kuno (sekarang bernama Luxor). Lukisan itu gambarkan seorang lelaki yang mengenakan topi jerami. Saya lalu membayangkan betapa tuanya (dalam peradaban manusia) benda yang kita letakkan saat ini di kepala. Andai orang dari masa lalu datang ke masa kini, bagaimana reaksi mereka melihat topi yang telah berubah bentuk, makna sosial dan fungsi praktisnya. Eh, ini pertanyaan cerdas kan?! ;) @aswan