FILM yang based on true story itu, fiksi atau non-fiksi? Apa bedanya drama, sinetron, dan film? Kalau mau buat film dokumenter risetnya harus lama ya? Program apa yang digunakan untuk mengedit film? Itu beberapa pertanyaan yang diajukan peserta pelatihan Journalism on Campus IAIN Kendari. Syukur pertanyaan-pertanyaannya bisa saya jawab. Hanya ada satu yang tidak: Lahir tahun berapa? Hehehe… Toh tidak ada relevansinya dengan materi tentang film yang saya dongengkan. Lebih ke buat lucu-lucuan saja, kan?
Minggu, 16 Oktober. Pagi sekitar jam 10 saya sudah di lantai dua ruang perkuliahan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah. Untuk masuk ruang pelatihan, saya sukarela membuka sepatu. Maklum berkarpet hijau. "Seperti masjid, ya?!" kata saya bercanda. Ada tiga sesi borongan. Agak maruk juga sih karena semua sesi, saya yang isi. Mohon maaf kalau akhirnya ada yang pusing, sakit kepala, serta alami gangguan pendengaran dan penglihatan. Tapi gimana lagi?! The show must go on. Aseeek!
Sebelum lupa, trima kasih buat ibu Sri yang telah beri kesempatan untuk mendongeng. Trima kasih juga buat mahasiswa yang luangkan waktu santainya di hari Minggu. Untuk tetap ada di sesi pertama, di mana saya mendongeng tentang pra-produksi film. Kedua, produksi dan pasca-produksi. Di sesi ketiga, saat kita nonton bersama film Sex, Lies, and Cigarette. Yang tidak terduga, respon mereka. Ada yang sampai terharu dengan mata berbinar. Ternyata film dokumenter bisa bercita rasa drama Korea juga.
Oh ya, saya suka dengan antusiasme anak-anak muda ini. Untuk segala upaya, antusiasme memang penting. Tapi tidak cukup. Harus ada pengetahuan yang jadi pemandunya. Membuat film sama seperti menulis atau kegiatan produktif kreatif lainnya: Butuh ilmu. Sayang, itu tidak bisa ditransfer dalam sehari. Jadi yang dibagi poin-poin pentingnya saja. Itupun saya yakin, tidak mudah dapat menangkap semuanya. Jadi sesuai minat mereka saja. Mau fokus ke pra-produksi, produksi, atau pasca-produksi film. Intinya, satu saja yang mereka bisa klik, cukuplah buat modal awal untuk ‘melawan’. Lho, ini maksudnya apa?
Jadi begini, kerja kreatif itu tidak mudah. Apalagi di bidang film. Sudah ada industri besar yang mapan dan menggurita yang telah menguasai pasar. Mencekoki kita untuk menjadi konsumen atas apa yang mereka produksi. Sebut saja Hollywood. Setiap pekan, film mereka hadir di bioskop. Tayang di televisi. Kita menikmatinya dengan renyah. Dibuai untuk terus mengkonsumsi film-film jualan mereka. Selera mereka kemudian menjadi selera kita juga. Daya kreasi dan karsa kita dilumpuhkan. Seolah apa yang mereka jajakan sudah sangat memuaskan kebutuhan kita. Tapi pernah tidak kita berangan-angan: Mengapa tidak membuat film versi kita sendiri? Yang memuat cerita kita. Tentang keresahan kita. Tentang nilai-nilai dan apa saja yang kita anggap penting.
Memang ini tidak akan mampu mengalahkan mereka. Tapi setidaknya harus ada gerakan kontra hegemoni yang bisa kita lakukan. Gerakan seperti ini tidak mudah untuk bisa menjadi besar. Tetapi harus ada. Meski sporadis, seperti perang gerilya, tetapi kalau bergerak bersama, tidak mustahil dapat menguasai kota. Film bukan melulu tentang uang saja, tapi tentang dominasi narasi. Mereka yang menguasai wacana, merekalah yang kemudian berpotensi untuk mengendalikan cara berpikir dan menilai kita. Menyeleksi dan melanggengkan narasi atau cerita yang menjadi perhatian kita.
Padahal di sisi lain, film memiliki kekuatan. Ia lebih berumur panjang daripada produk media lainnya. Kalau tidak terasa aktual lagi, film tetap relevan karena merekam sisi historis kita. Dengan karakteristik film seperti itu, tidak heran negara adidaya seperti Amerika Serikat sudah menggunakan film sebagai alat soft propaganda. Kalau mereka bisa menggunakan itu, kita pun bisa melakukan hal yang sama untuk kepentingan kita.
Kembali ke cerita tentang anak-anak muda yang mulai membuka perhatiannya kepada film, hemat saya merekalah calon agen penantang hegemoni. Alat-alat produksi sudah tersedia. Kamera dengan kualitas High Definition (HD) hingga program editing, cukup terjangkau. Mereka bisa menawarkan cerita-cerita alternatif bahkan tandingan atas apa yang sudah disuguhkan oleh raksasa film penguasa pasar. Anak-anak muda inilah yang akan masuk gelanggang, memperkuat barisan pembuat film independen (indie) atau profesional lainnya. Tidak ada yang mustahi. Semua capaian besar, selalu dimulai dengan langkah kecil yang berkesinambungan. Dan mereka baru saja memulai langkah kecil itu. @aswan
#life #eureka
Related Post:
No comments:
Post a Comment