Sunday, October 2, 2016
Menulis? Buat apa?!
MEREKA ingin menulis tapi sibuk. Itu yang saya tangkap dari perbincangan dengan beberapa mantan mahasiswa. Mereka umumnya pekerja kantoran. Sudah pasti sibuk. Tapi rasanya sepadan dengan gaji yang mereka dapat. Bisa melebihi penghasilan saya yang 10 tahun lebih dulu bekerja daripada mereka. Trus, “Buat apa kalian menulis?’ Itu pertanyaan yang sempat saya ajukan. “Menulis tidak akan membuatmu kaya,” kata saya.
Ternyata bukan itu tujuannya. Mereka ingin berbagi. Dengan menulis, mereka bisa merasa lebih bermakna. Bahkan ada yang bermimpi untuk sekolah lagi. Tidak buruk sih, tapi buat apa? Menghabiskan uang saja. Itu jawaban politisnya. Ada alasan lain yang sebenarnya muncul di kepala saya waktu itu tapi tidak saya sampaikan. “Yaa.. kalau kalian sekolah lagi, saingan saya bertambah dong.” Hehehe....
Orang kantoran yang sibuk, itu biasa. Orang kantoran yang sibuk tapi bisa nyisihkan waktu untuk membaca dan menulis, itu luar biasa. Kuncinya ada pada kita saja sih. Selain manajemen waktu, saya juga percaya, hal-hal yang mudah mengalihkan perhatian seperti media sosial atau sebaran informasi terbaru bisa menjadi hal yang mematahkan semangat. Padahal kalau mau sedikit lebih tekun, mereka dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna dari semua hal instan tadi. Caranya? Ada dua, membaca dan menulis.
MEMBACA. Bacalah bacaan yang berkualitas. Buku yang berkelas menentukan kualitas materi dan keragaman sudut pandang yang ada dalam benak kita. Saya masih percaya buku sebagai sumber pengetahuan yang lebih lengkap. Formatnya bisa dalam bentuk buku biasa atau eBook. Apa saja, yang penting buku. Fiksi atau non-fiksi. Keduanya akan 1) memperluas wawasan, 2) menggandakan sudut pandang atas satu topik, serta 3) memperkaya kosa kata. Tiga hal penting yang dibutuhkan untuk menulis.
MENULIS. Tulis saja apa yang terlintas di kepala. Komputer saat ini lebih memudahkan kita untuk mengaturnya kemudian. Berbeda dengan era di mana generasi saya pertama kali belajar menulis. Mesin tik ketika itu tidak memudahkan kami untuk membolak balik urutan kalimat, apalagi paragraf. Pastikan fokus pada satu topik saja dulu. Tulislah apa yang kita suka. Yang kita kuasai. Tidak mesti panjang. Saya sendiri biasa menuangkan ide minimal 100 kata. Toh bisa ditambah menjadi 300, 500, atau 700 kata. Jangan dipaksa. Make it fun saja.
Saya sendiri merasa menulis itu sebagai katarsis. Semacam cara untuk menenangkan ‘kegaduhan’ yang ada di dalam benak. Mungkin karena tidak senang, miris, atau ingin mengoreksi sesuatu. Atau bisa jadi karena begitu terkesan, senang, terpesona, atau suka atas sesuatu. Semua itu energi, mesin yang memompa untuk mau menulis. Bagaimana dengan penilaian orang lain?
Kalau tulisan itu ingin kita posting, tentu pertimbangkan pembaca kita. Menulis seperti berbicara dengan orang lain. Buatlah mereka mudah memahami ide kita. Mereka tidak harus setuju atau suka dengan apa yang kita tulis, tapi setidaknya kita sudah berupaya untuk menyampaikan apa yang kita maksud secara logis, baik, dan indah. "Jadi kita tidak bisa mengekspresikan kemarahan kita dalam tulisan?" Ya bisa saja. Asal alasannya masuk akal, caranya santun, dan buat itu terlihat indah. "Memangnya ada kemarahan yang indah?" Ada. Yang pernah nonton film Kung Fu pasti tahu itu.
Inilah bedanya menulis dengan berkomentar. Kalau sekedar berkomentar di media sosial, anak SMP juga bisa kan? Tapi menulis dengan cara yang runut, imajinasi deskriptif (untuk fiksi) atau argumentasi yang pas (untuk non-fiksi), tidak semua orang bisa kan? Itu yang membuat tulisan kita tidak sekedar celoteh tak jelas arahnya. Menulis melatih kita untuk berpikir runut.
Saya juga merasa, menulis berguna untuk melatih daya ingat. Mengingat peristiwa, pengalaman, pengamatan, data, sampai mengingat kata yang tepat untuk mengekspresikan apa yang kita maksud. Kita adalah apa yang kita ingat. Itulah batas ekspansi eksistensi kita. Saya selalu kagum pada mereka yang memiliki daya ingat yang kuat dan menggunakan itu untuk menjelaskan apa yang mereka maksud.
Ada ungkapan, “Tulisan selembar mengalahkan ingatan setahun”. Tulisan berguna untuk mengikat ingatan. Lebih dari itu, saya merasa terhibur jika membuka arsip-arsip tulisan lama saya di blog atau di kliping koran. Tidak menyangka saya pernah berpikir atau memiliki ide (seaneh) itu semua. Jadi tidak perlu berpikir bagaimana ‘nasib’ tulisan kita. Setiap tulisan adalah kado yang kita berikan untuk diri kita sendiri. @aswan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Menginspirasi...
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete