Bangkok, Oktober 2016 |
SEBUAH foto dengan bingkai yang besarnya seukuran billboard berdiri di tengah Universitas Kesetsart, Bangkok. Itu kali pertama saya melihat langsung gambar Bhumibol Adulyadej lengkap dengan suasana di sekitarnya. Di depan potret besar, ada sesajian, bunga, dan hio (tangkai dupa). Saya sempat meminta seorang teman untuk mengambil foto saya berlatar gambar tadi. Namun urung. Beberapa orang yang lewat selalu berdoa di depannya. Rasanya tidak santun untuk lucu-lucuan membelakangi potret diri seseorang yang dihormati. Sebagai pendatang, saya tidak punya ikatan emosional dengan raja. Tapi bagaimana orang Thailand mengekspresikan kecintaan mereka?
Perjalanan awal Januari 2008 ke Bangkok kali itu betul-betul menyita jam tidur. Berangkatnya siang sih dari Kendari, tapi saya kan bangunnya sudah sejak subuh. Tiba di Soekarno-Hatta sore. Jelang Isya baru bisa sampai Jakarta. Ngobrol sedikit dengan teman-teman, lalu harus ke bandara lagi. Pesawat berangkat pukul 12 tengah malam. Setelah terbang sekitar 4 jam tanpa transit, Garuda mendarat di bandara Internasional Suvarnabhumi (Bangkok). Saya tipe orang yang tidak bisa tidur di pesawat, kereta atau mobil. Syarat teknis untuk tidur bagi saya adalah harus rebahan. Yaa.. begitulah.
Dini hari berkendaraan meninggalkan bandara, selain lampu-lampu, tidak banyak yang bisa dinikmati. Tiba di penginapan Universitas Kesetsart sudah sekitar pukul 5. Mandi. Shalat subuh. Waktu yang tersisia sangat tanggung untuk dipakai tidur. Karena pukul 7 harus sarapan. Sejam kemudian acara dibuka. Untung presentasi riset sudah saya buat saat masih di Kendari. Jadi amanlah untuk urusan itu. Ritual seminar? Hmmm... biasalah. Begitu-begitu saja. Tak ada yang istimewa. Yang enak itu jalan-jalannya (meski lebih dari 38 jam saya belum juga tidur).
Waktu berkeliling untuk cari makan malam, saya bertemu lagi dengan beberapa potret besar Raja Bhumibol Adulyadej. Biasanya di tempat orang banyak berkumpul. Salah satunya di pelabuhan penyebrangan kecil yang dipakai untuk bisa melihat istana dan beberapa pagoda di waktu malam. Di situ wisatawan biasanya naik kapal kayu yang eksotik dan menyusuri sungai Chao Praya. Menikmati tarian tradisional Thailand, sambil makan malam di atas geladak. Rasanya seperti kembali ke masa kejayaan Sriwijaya. Tariannya gemulai. Tidak ritmik menghentak. Pemandangan di kanan kiri sungai bikin saya ingin berlama-lama. Aromanya. Sejuknya. Alamaaak…
Kembali ke pelabuhan kecil tempat saya bertolak tadi, masih terlihat ada yang berdoa di depan gambar sang raja. Padahal sudah cukup larut malam. Belakangan saya baru tahu kalau Thailand sedang berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan di gedung-gedung pemerintah dan swasta. Saudari raja baru saja mangkat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana duka yang akan hadir andai Bhumibol yang mangkat. Umur raja sudah 80 tahun ketika itu.
Selain potret raja bergelar Rama IX tadi, yang menarik perhatian justru pada gelang oranye yang dikenakan oleh beberapa orang yang lalu-lalang di Bangkok. Baik di kompleks elit terpelajar seperti kampus Kasetsart, maupun di tampat umum seperti swalayan. Saat seorang petugas money changer menyodorkan tangannya dari bilik penukaran uang, dengan jelas terlihat juga gelang oranyenya. Saya berpikir, benda yang tampaknya sederhana ini akan menarik untuk jadi souvenir.
Sayangnya, tidak mudah menemukan gelang seperti itu. Harusnya bisa ditemukan di mana saja, kan?! Apalagi untuk ukuran kota yang jadi destinasi wisata seperti Bangkok. Tapi saya tidak beruntung. Bahkan di pasar cendera mata pun gelang itu tidak ada. Makin penasaran. Saya bertanya pada seorang teman Thailand: Itu sebenarnya gelang apa? Rupanya gelang oranye adalah tanda kesetiaan pada raja. Pantas tak diobral sampai ke kaki lima. @aswan #life #memory #travelnote
No comments:
Post a Comment