sumber: blog.act.id |
SEJUJURNYA judul ini terlalu berat untuk dibebankan pada tulisan yang dapat habis dibaca dalam sekali duduk. Sejak aksi 4 November 2016 lalu yang melibatkan banyak umat Islam, lahir sejumlah label negatif. Apalagi dari media asing. Meski secara tidak langsung disebutkan, tetapi aksi tandingan yang diadakan setelah itu membangun wacana yang memposisikan umat Islam Indonesia itu anti-keberagaman, tidak bisa menerima pluralisme, bahkan yang paling seram, mereka merencanakan makar (untuk mendirikan negara Islam). Menolak NKRI dan anti-Pancasila.
Coba sejenak kita melihat ke belakang. Saat Piagam Jakarta dirumuskan (yang kemudian akan menjadi Pembukaan UUD 1945), kalimat "kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihilangkan oleh para Bapak Bangsa. Jika mau ngotot, mereka bisa untuk tidak menghapusnya. Peserta rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mayoritas muslim. Dari anggota Panitia Sembilan, hanya seorang yang non-muslim: Alexander Andries Maramis. Kalau pun voting, dia pasti kalah. Tapi opsi itu tidak dipilih. Tidak dilakukan. Mereka masih kurang arif ya?
Penduduk Indonesia pun mayoritas muslim (dari sejak awal kemerdekaan sampai saat ini). Tapi orientasi politik mereka bukan pada mendirikan negara Islam. Silahkan cek, partai apa yang selalu memenangkan Pemilu, partai Islam atau partai yang tidak menggunakan label agama? Artinya, mayoritas muslim Indonesia cenderung pada sistem politik yang dibangun di atas landasan keberagaman. Di masa Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang selalu menang. Di masa Soeharto, Golkar (yang ini mungkin bisa dikecualikan kalau menganggap Golkar menang karena mobilisasi yang dilakukan Soeharto). Lalu bagaimana Pasca-1998? PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat yang memperoleh kursi terbesar. Pasca-Soeharto, partai-partai Islam bahkan tidak pernah mencapai 13% suara di parlemen. Mau makar dari Hong Kong?!
Betul, sejak masa Soekarno sampai sekarang selalu ada letupan-letupan juga gerakan hingga teror yang mengatasnamakan Islam. Jumlahnya sangat sedikit, biasanya 'brisik', dan efektif merusak citra muslim. Sekali lagi, lihat reaksi muslim Indonesia. Mereka mendukung? Tidak! Padahal kalau mau, umat Islam berpotensi dan sangat bisa mendukung setiap gerakan yang anti-NKRI. Mayoritas muslim Indonesia juga tidak terprovokasi oleh gerakan politik (seperti di Aceh) atau konflik berlatar agama di Ambon dan Poso yang pecah tahun 1999. Juga konflik bernuansa rasial dan suku seperti di Jakarta dan Sambas. Mereka dewasa untuk menyikapi bahwa konflik itu bersifat lokal. Tidak perlu ditarik ke ranah nasional. Padahal kalau mau gelap mata, dengan mengatasnamakan solidaritas muslim, mereka bisa saja melakukan aksi balas dendam di daerah lain. Tapi Alhamdulillah itu tidak terjadi. Sekali lagi, mayoritas umat Islam itu lebih kepingin hidup dalam damai. Selama tidak diusik, mereka baik. Yaa.. samalah dengan karakter kebanyakan orang Indonesia (apapun agama, suku, dan rasnya).
Terakhir, coba lihat kalender. Mungkin ada yang sering bepergian ke luar negeri. Sebuat saja Amerika Serikat, negara yang jadi kiblat praktik demokrasi dengan penduduk sekitar 70% beragama Kristen. Tolong cek hari Libur Nasional mereka (bandingkan dengan hari Libur Nasional Indonesia). Apa mereka mengakomodasi perayaan agama lain? Indonesia memberi penghormatan untuk peribadatan dan perayaan umat lain (yang populasinya sekitar 13%). Mayoritas muslim Indonesia tidak ekstrim, tidak mempersoalkan itu sebagai bentuk ketidak-proporsionalan. Bahkan menikmati karena bisa ikutan libur. Hehehe...
Jika ada kelompok minoritas yang khawatir, saya pikir itu manusiawi asal tidak berlebihan. Karena belajar dari semuanya tadi, insya Allah non-muslim akan terjaga jika hidup berdampingan dengan mayoritas umat Islam di Indonesia. Kalaupun ada riak, sejarah mengajarkan bahwa selalu ada titik tengah yang menyatukan. Saya bukan futurolog yang secara sistematis dapat memprediksi dan kemungkinan yang terjadi di masa depan. Saya hanya mencoba membaca masa lalu, memetakan pola-pola yang ditinggalkan untuk menjadi bahan pelajaran, sebagai acuan untuk bertindak dengan lebih baik di masa kini. Mungkin saya salah, tapi itulah pendapat saya. Salam. @aswan
No comments:
Post a Comment