Sunday, September 18, 2016
Tutupnya Museum Cinta
TAJ Mahal adalah cerita sukses museum cinta abadi. Cinta antara Kaisar Mughal Shah Jahan (1592–1666) dan sang permaisuri Arjumand Banu Begum. Jahan membangunnya karena kepingin cinta mereka dikenang oleh manusia sepanjang zaman. Tapi lain halnya dengan apa yang juga coba dibangun oleh tokoh "aku" di cerpen Trash is Better karya David Albahari. Dia tidak seberuntung Jahan. Cintanya berantakan di hari yang bertepatan dengan tahun kelima hubungan asmara mereka. Hasrat untuk membangun museum cintanya bersama Magda (si kekasih), buyar seketika.
Padahal sebelumnya tokoh "aku" ini sudah mulai mengumpulkan apa saja sejak kali pertama bercinta. Benda yang menjadi koleksi awalnya adalah pakaian dalam Magda. Lalu kemudian setiap potongan kertas, tisu bekas Magda, tiket bioskop, kartu pos, label pakaian, stoking robek, kantong teh celup kamomil bekas, pena yang sudah habis tintanya, bekas bungkus pasta gigi, resep kue cokelat yang buruk fotokpiannya, baju renang yang dikenakan Magda saat mereka berlibur di Yunani, guntingan foto-foto, selimut dari pesawat, kaleng-kaleng kosong, semua disimpan di apartemennya. Tidak hanya mengumpulkan, tokoh "aku" ini juga mencatat bagaimana hingga benda-benda itu dapat menjadi koleksi museum cinta mereka.
Magda tahu mengapa kekasihnya melakukan itu semua. Tumpukan benda, kantong, kotak, arsip, lemari penyimpanan dan rak yang memuat semua benda yang tersebar di kamar "aku", disebut Magda sebagai labirin cinta yang menakjubkan. Meski toh pada akhirnya Magda yang memutuskan untuk keluar dari labirin itu. Benda-benda yang awalnya oleh tokoh "aku" terasa begitu kemilau, dengan tiba-tiba meredup dan hilang cahaya. "Aku takjub sendiri pada betapa cepatnya saat cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaus kaki". Di sini saya suka cara David Albahari memilih analogi. Kalau penulis Indonesia mungkin akan menggunakan perumpamaan: hati yang berbalik "semudah membalik telapang tangan". Garing kan?!
Lalu apa yang sebaiknya diabadikan dari cinta? Jawabannya: tidak ada. Setidaknya begitu sikap tokoh "aku" yang mendadak melihat semuanya koleksinya menjadi seperti sampah. Bahkan lebih hina. Katanya, sampah masih bisa didaur ulang. Tapi cinta yang kandas sungguh tidak ada gunanya. Seperti dedak yang membelenggu hati. Saya sendiri sepakat dengan tokoh "aku" tapi dalam konteks cinta yang menguap tanpa sebab. Karena ada saat dimana kenangan itu dibutuhkan. Seorang teman pernah berbagi cerita. Dalam filsafat hidup orang Bugis Makassar, ingatan itu penting. Sebegitu pentingnya sampai jika tak ada lagi kebaikan yang dapat kau kenang dari seseorang, ingatlah keburukannya. Saya sendiri tidak begitu paham. Mungkin pesan yang dia maksud: Jangan pernah melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupmu. Gitu ya?!
Cerpen Trash is Better karya David Albahari ini diterjemahkan menjadi Cinta Semanis Racun oleh seorang kurator sastra, Anton Kurnia. Saya sendiri lebih nyaman dengan judul berdiksi sampah. Lebih pas untuk menggambarkan perasaan tokoh "aku". Kumpulan cerpen Albahari tahun 1982 dapat penghargaan Sastra Ivo Andric di Yugoslavia. Salah satu novelnya tahun 1996 memenangkan hadiah Sastra Balkan. Saya jadi penasaran dengan novel itu. Mudah-mudahan ada kebetulan yang mempertemukan kami, seperti halnya kebetulan yang mempertemukan saya dan Trash is Better. @aswan
Labels:
media
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Keren... sedikit sempat hanyut padahal cuma baca resensinya...
ReplyDelete