Friday, July 8, 2016

Menjadi Makhluk Visual

aswan zanynu (c) 2016
MEDIA sosial seperti penyihir yang mantranya mengubah kita menjadi makhluk lain. Mungkin benar kata Innis dan McLuhan: Manusia terus menerus mengubah teknologi dan (ajaibnya) teknologi tersebut kemudian mengubah manusia. Sebelum ditemukan teknologi foto digital, mengabadikan satu momen atau wajah seseorang itu suatu 'kemewahan'. Sampai era 90an, setahun punya satu foto saja itu rasanya sudah luar biasa. Tidak cukup makan waktu dua dekade, manusia kemudian dimudahkan untuk memotret dengan kamera digital. Bukan itu saja, kini teknologi hybrid memadukan kamera dan smartphone. Piranti yang praktis untuk membuat, membagi dan menyebarluaskan foto-foto.

Selepas berpuasa, saya masih meragukan apakah saya dapat menjadi muslim yang bertakwa. Tetapi perlahan saya bertambah optimis akan menjadi makhluk visual. Tidak afdal rasanya kalau tidak ber-swafoto (selfie) atau berfoto ramai-ramai. Girang sih. Tapi dalam derajat tertentu ada saat di mana saya merasa kita begitu kecanduan kamera. Alat yang besarnya segenggaman tangan itu mengikis sakralnya beribadah. (Pernah lihat foto orang yang selfie di sekitar Ka'bah, kan?) Gadget jadi lebih penting dari percakapan yang justru dapat mengakrabkan. Padahal momen Hari Raya itu enaknya saat dinikmati. Sama seperti makanan yang tersaji, yaa.. nikmatnya kalau dicicipi.

Saya bersyukur selama dua hari lebaran disibukkan oleh percakapan dan makan (tanpa smartphone). Memang sayang sih karena tidak sempat memotret banyak momen. Tapi sungguh, itu bukan hal yang saya sesali. @aswan

Note:
Sebenaranya ini alasan saya saja. Dengan wajah yang tak sedap dipandang, apa untungnya memperbanyak foto? Hehehe…

No comments:

Post a Comment