Thursday, November 10, 2016
(Politik) Gelar Pahlawan
TANGGAL 9 November ini tokoh Nahdlatul Ulama Kyai Haji As'ad Syamsul Arifin mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dugaan saya meleset. Sejak awal tahun saya memprediksi mantan presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid yang akan dapat gelar tersebut pada 2016. Variabel gonjang-ganjing politik seperti saat ini sama sekali tidak masuk hitungan saya. Karena sampai akhirnya tahun 2015 Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa pengesahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Abdurrahman Wahid sudah disetujui oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Menurut Menteri Khofifah, pengesahan kedua mantan presiden tersebut tinggal menunggu Keputusan Presiden (Detik, 10 Nov 2015).
Sayangnya, November 2016 Presiden justru disibukkan oleh urusan yang oleh beberapa pihak dinilai sebenarnya bisa diredam sebelumnya. Seorang penguji proposal disertasi, pernah bertanya tentang peluang terpilihnya Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Beliau Prof. Ikrar Nusa Bhakti. Saat itu saya menjawab sederhana: Pendulum Golkar sudah merapat ke Istana dan tidak ada yang gratis dalam politik. Meminta presiden untuk menyetujui Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah hal yang masuk akal karena 1) nama itu sudah berada di tangan presiden tinggal menunggu Surat Keputusan, dan 2) memperjuangkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional juga menjadi salah satu keputusan Musyawarah Nasional Golkar 2016.
Pada Mei 2016 tersebut, Prof. Ikrar Nusa Bhakti yang mendengar argumen saya, tidak mendebat atau meneruskan pertanyaan. Mugkin dia juga berpikiran yang sama, setidaknya dapat memahami argumentasi saya. Atau mungkin dia justru dalam hati menertawakan analisis dangkal saya yang sekarang terbukti salah. (Mahasiswa S3 kok gitu?! Memalukan. Tidak kredibel. Kurang membaca. Hmmmm.... silahkan dilanjutkan sendiri. Saya pasrah.)
Praktik pemberian gelar Pahlawan Nasional setiap tanggal 10 November seingat saya dimulai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang menarik justru di tahun 2012. Kala itu, mantan presiden dan wakil presiden, Soekarno dan Hatta mendapat gelar kehormatan tadi. Banyak pihak yang nilai itu bentuk ‘politik rujuk’ yang ditawarkan oleh SBY kepada Megawati. Maklum saat itu komunikasi politik keduanya kurang harmonis. Hal yang sama sekarang diulang lagi oleh presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski terlihat sama, tapi dari situasinya hemat saya tidak sama. Presiden SBY memberi gelar tersebut tidak berada di bawah keadaan (atau sebut saja tekanan) politik yang riuh. Tidak ada demonstrasi besar. Jadi sebenarnya, jika mau, dia bisa saja memberikan gelar tersebut ke tokoh lainnya. Toh Soekarno dan Hatta sudah “lebih besar” dari gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepadanya. Yang menarik justru keadaan yang melingkupi Presiden Jokowi.
Sebelum dan setelah aksi organisasi masyarakat (ormas) Islam, Jokowi terlihat repot. Lebih rutin berdialog dengan pemuka Islam. Bahkan mendatangi mereka. Meski ini seperti paradoks. Hastag #PresidenKemana sempat menjadi trending topic saat 4 November, ketika beliau memilih untuk tidak menemui perwakilan aksi damai. Jadi ingat lirik lagu Mata Indah Bola Pingpong: “..kucari engkau lari, kudiam kau hampiri”. Maaf buat pembaca muda yang tidak kenal Iwan Fals atau tidak tahu lagu tadi. Referensi lagu memang tidak jauh-jauh dari persoalan umur. Hehehe....
Sampai di mana kita tadi? Oh iya, apa saja yang dilakukan Jokowi belakangan ini begitu terlihat politis. Mulai dari adegan naik kuda dengan Prabowo, ekspresi tertawa bahkan diamnya bisa bernilai politik. Bukan itu saja, jaket bomber yang dikenakannya pun menjadi buah bibir. Kalau yang sekecil itu saya dapat bermakna politik, apalagi yang selevel dengan pemberian gelar pahlawan kepada tokoh Islam. Ini bisa dibaca sebagai salah satu teknik merayu, setidaknya menenangkan umat Islam yang kemarin kecewa. Iya, yang kecewa. Karena ada juga kan yang tidak kecewa?!
Eh jangan langsung percaya dengan tulisan sok tahu saya ini, karena analisis dangkal saya terbukti pernah salah. (Mahasiswa S3 kok gitu?! Memalukan. Tidak kredibel. Kurang membaca. Yaaa.... silahkan dilanjutkan sendiri. Saya rela.) @aswan
Labels:
eureka
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment