Saturday, December 31, 2016

Untuk Janji Kedua


SEORANG ibu yang berjuang menjadi perempuan bahagia. Seorang anak yang menyimpan amarah kepada kedua orang tuanya, terkhusus sang ibunya. Mengapa hidup yang seharusnya berjalan maju tapi berubah seperti berjalan mundur dan menyeret semua ingatan yang lama ditutupi? Kasih tak sampai dan janji seorang pecinta, bersengkarut dengan pencarian seorang anak yang harus memasuki lorong waktu masa lalu ibunya. Film Surat dari Praha menata semua kesedihan itu menjadi gambar dan suara kesunyian yang indah.

Dari sejumlah film Indonesia yang saya tonton di tahun 2016, film ini pantas jadi juara. Setidaknya versi saya. Memang tidak seriuh Ada Apa Dengan Cinta 2, My Stupid Boss, Warkop DKI Reborn, Rudy Habibie atau film-film yang jadi buah bibir lainnya. Tapi dari teknik sinematografi, penokohan, serta cara bertutur dan alur ceritanya, Surat dari Praha dapat disejajarkan dengan film bergendre Eropa. Jadi jangan berharap akan menemukan ketegangan di sepuluh menit pertama layaknya film Hollywood. Kita justru disuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan di awal. Tapi itulah yang kelak memancing rasa ingin tahu untuk terus mengikuti setiap jejak-jejak cerita di dalamnya.

Baru pertama kali saya menikmati karya sutradara Angga Dwimas Sasongko. Di sini dia beruntung karena didukung oleh penulis cerita yang begitu apik: Mohammad Irfan Ramly. Alurnya sulit ditebak. Selain bernas, diksinya juga puitis. Dialognya logis dengan selipan-selipan debat yang sama ketusnya. Saya juga menaruh apresiasi atas kerja Ivan Anwal Pane. Ini sepertinya film pertama di mana ia menjadi pengarah sinematografi. Oh ya, Sutradara, Pemeran Utama Pria (Tio Pakusadewo), dan Film Surat dari Praha memenangkan Usmar Ismail Award tahun 2016. Saya justru tahu nanti saat searching setelah menontonnya.

Jika disimak sepintas, kisah film ini sebenarnya sederhana saja. Larasati (diperankan Julie Estelle) harus membawa sebuah kota kayu ke suatu alamat di Praha (Republik Ceko). Itu wasiat ibunya sebelum meninggal. Jika kotak itu sudah diterima oleh Mahdi (Tio Pakusadewo), Laras dapat pulang kembali ke Indonesia. Siapa sangka, ketika bertemu, orang yang tidak dikenalnya itu justru menumpahkan amarahnya dan mengusir Laras. Tidak itu saja, dia juga menolak membubuhkan tanda tangan di kertas bukti penerimaan. Padahal Laras sebenarnya hanya membutuhkan coretan itu untuk ditunjukkan ke notaris agar dia dapat memperoleh rumah warisan ibunya.

Mahdi Jayasri, mahasiswa jurusan teknik nuklir yang mendapat beasiswa untuk kuliah di Praha di masa Presiden Soekarno. Nasibnya menjadi tidak menentu saat rezim berganti antara 1965-1966. Dia dan sejumlah mahasiswa di sana menolak untuk mengakui Presiden Soeharto. Kewarganegaraan mereka dicabut. Belakangan terungkap kalau Sulastri (ibu dari Laras) adalah kekasih Mahdi. Sebelum ke Praha, dia menyimpan dua janji buat Sulastri. Satu, untuk menikahinya saat kembali ke Indonesia. Dua, akan selalu mencintainya. Ternyata waktu hanya mengizinkan dia untuk memenuhi janji yang kedua.

Sebaliknya: Apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak memperoleh kabar selama puluhan tahun dari kekasih yang berjanji akan menikahinya? "Kadang hidup memang lebih sering berisi apa yang tidak kita inginkan.. dan kita seakan-akan dipaksa untuk masuk ke dalamnya, merasa tak punya pilihan," begitu tulis Sulastri dalam penggalan suratnya (yang dibawa oleh Laras). Dia akhirnya menikah dengan lelaki lain. Sialnya, di saat yang bersamaan berdatangan berlembar-lembar surat dari Praha. Meski tak satu pun terbalas, Mahdi terus mengirim sampai 136 pucuk surat setelah 20 tahun menghilang.

Tirai demi tirai kehidupan Mahdi tersingkap sepanjang jalan cerita. Siapa dia? Apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup di Praha? Dengan siapa dia berbagi siang dan malam? Apa yang selalu membuatnya terus bertahan dipengasingan? Kepada siapa lagu-lagu gubahannya dia peruntukkan? Gedung opera dengan bangku-bangku kosong mewakili kesunyiannya. Panorama indah Praha di musim semi menggambarkan harapan sekaligus keterasingan seorang diaspora politik. Soundtrack yang dibawakan Glen Fredly membangun melankoli dari balik lampu malam, trem listrik yang bergerak, bis kota, dan orang-orang yang lalu-lalang, serta berbagai sudut kota Praha. Saya begitu menikmati beberapa adegan yang berjalan bahkan tanpa dialog.

Bukan manusia saja, film ini memberi peran kepada seekor anjing bernama Bagong. Di ujung cerita, anjing gembala peliharaan Mahdi ini seperti jadi penghubung antara tuannya dengan Laras. "Untung yaa kamu cuma anjing, Bagong. Anjing tidak pernah merasa kesepian karena ia hanya memberikan kesetiaan," kata Mahdi. Dan sekali lagi, sangat mirip dengan genre film Eropa, semua jawaban atas rasa penasaran kita nanti terjawab di akhir film. Mengapa Sulastri memberi Laras nama depan: Kemala Dahayu (Teratai yang Cantik)? Apa waktu dan perjalanan dapat menyembuhkan luka dan memadamkan kemarahan?! Film ini memberikan kejutan-kejutan emosi yang tidak dapat saya tuliskan seluruhnya. Selamat Tahun Baru 2017. @aswan

No comments:

Post a Comment