Friday, January 20, 2017

Cerita Reagan di Saku Trump


SEPINTAS tidak ada hubungan yang mencolok antara Donald John Trump (Presiden AS ke-45) dan Ronald Wilson Reagan (Presiden AS ke-40). Yang dihebohkan kemarin justru kaitan antara Melania (istri Trump) dengan Michelle Obama karena kasus kutipan pidato. Sebenarnya masih dalam konteks yang serupa, yaitu contek-menyontek. Slogan kampanye Trump, “Make America Great Again” adalah slogan yang pertama kali digunakan Ronald Reagan dalam kampanye Pilpres AS tahun 1980. Mungkin sah-sah saja, maklum mereka berasal dari partai yang sama: Republik. Dalam hitungan, presiden AS terbanyak berasal dari partai ini (19 orang). Sementara Partai Demokrat baru 13 orang, yang terakhir Barack Obama.

Beberapa isu kampanye Trump adalah jawaban versi dia atas apa yang sekarang sedang terjadi di AS. Trump antara lain berjanji untuk menaikkan upah minimum nasional dari US$ 7,25 per jam menjadi US$ 10 dengan memberi kebebasan kepada Negara Bagian untuk menentukan batasannya. Dia juga berencana menurunkan pajak perusahaan dari 35 persen menjadi 15 persen. Janji Trump tentang upah dan pajak itu mengingatkan kita pada “Reaganomics”: Kebijakan Reagan yang salah satu itemnya adalah menerapkan pajak yang lebih rendah untuk merangsang ekonomi. Ini dipilih Reagan untuk menekan laju inflasi dan jumlah pengangguran yang bergerak naik.

Oh ya, Reagan dan Trump ternyata sama-sama sepuh. Hari ke-17 setelah dilantik, Reagan berusia 70 tahun. Demikian pula Trump, yang Juni nanti berulang tahun yang ke-71. Seperti Trump yang melawan Hillary di lingkar dalam pemerintahan, dulu Reagan pun demikian. Tahun 1980 ia berkompetisi dengan Jimmy Carter, presiden petahana. Gestur tubuh Reagan yang kerap mengacungkan jempol, sengaja atau tidak, ditampilkan oleh Trump dalam beberapa kesempatan. Sayangnya ucapan serta senyum Reagan dan Trump, beda.

Barangkali karena Reagan memulai karir sebagai penyiar radio Iowa, jadi tahu kalau ucapan itu punya daya magis. Setiap pilihan kata dapat menjadi mantra. Diksi bisa menyentuh titik-titik reaksi yang berbeda dalam benak setiap orang yang mendengarkan. Dan untuk setiap kata yang sudah diucapkan, tidak dapat ditarik kembali (irreversible). Sekuat apapun upaya dilakukan untuk mengklarifikasi. Ehem, jadi ingat seseorang. Uhuk. Eh atau barangkali Trump justru disukai oleh pemilihnya karena gayanya yang ‘apa adanya’, ceplas-ceplos, masa bodoh dengan orang lain, dan tak terfilter seperti itu?!

Tentang senyum, mungkin karena Reagan pernah menjadi aktor (sebelum jadi Gubernur California dan Presiden AS). Jadi tahu cara membangun kehangatan. Hmmmm... tapi rasanya tidak juga. Obama yang berlatar hukum yang serius, tetap ramah dengan senyumnya. Reagan mungkin seberuntung Kennedy, terlahir dengan wajah dan senyum yang telegenik: Disorot atau dibidik kamera candid dari arah mana pun tetap elok dipandang. Sama seperti Bill Clinton. Bandingkan dengan Trump. Kalau pun harus ambil matakuliah Pengantar Ilmu Tersenyum, maaf nih yaa, jatuh-jatuhnya dia masih akan mengulang. Tetap terlihat jutek.

Saya tidak tahu, apakah mereka yang menentang Trump dipicu oleh janji kampanyenya yang terdengar mengerikan bagi sebagian orang. Sebut saja: membangun tembok antara AS dan Meksiko, membatasi imigran, melarang muslim untuk masuk ke AS, serta menolak pembatasan kepemilikan senjata termasuk di sekolah. Atau mereka mencela Trump karena caranya bertutur kata yang melanggar pakem kepantasan seorang kepala negara (dan) dengan ekspresi wajahnya yang selalu ‘seperti itu’. You know kan what I mean?! @aswan

No comments:

Post a Comment