PERCAKAPAN kami menyeruak begitu saja. Tanpa sekat. Tidak ada sapaan "Pak" atau "Ibu". Sebut nama ringkas, sapaan, bahkan ejekan saat sekolah. Group Whatsapp SMA tempat saya sekolah dulu jadi begitu riuh. Cerita dengan topik random berseliweran. Tidak terkecuali soal asmara. Ada beberapa yang membongkar satu-satu skandal masa lalu. Ada juga beberapa yang dengan takzimnya mengingatkan kami untuk ingat umur, ingat uban. Hehehe... Sampai ada yang berkomentar: "Memangnya ada hal yang lebih utama dari Cinta?" Sesaat group hening. Mungkin mereka tidak sangka ada yang akan berkomentar seperti itu. Tapi saya sendiri sepakat. Seperti biasa, tentu dengan argumentasi sok tahu ala Aswan.
Saya membaca cinta dengan dua formasi yang berbeda: cinta dan Cinta. Sepintas keduanya sama (dan memang sama) cuma sebenarnya keduanya berbeda. Cinta dengan "c" huruf kecil adalah cinta yang menggerakkan dunia. Cinta dengan "C" huruf besar adalah cinta yang menghidupkan dunia, cinta yang menyangga semesta, cinta yang terus berlanjut hingga dunia tiada. Ketika teman saya tadi menyebut cinta sebagai hal yang utama, sebenarnya dia ingin mengusik kesadaran kami tentang cinta yang dianggap "nista". Cinta dilihat sebagai permainan anak remaja yang belum dewasa, atau dimaknai sebagai bentuk kekanak-kanakan orang dewasa. Apalagi untuk orang setua kami, generasi yang masih melihat masa-masa akhir persahabatan kaset dan pensil.
Baiklah, kita bicara tentang cinta dengan "c" huruf kecil. Dengan cinta itu dunia bergerak. Ayah mencari nafkah sebagai bentuk cinta pada keluarga. Ibu mengurus rumah tangga karena cinta pada keluarga. Anak bermain karena cinta pada kesenangan. Pegawai berdedikasi pada pekerjaannya, karena cinta pada jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup (juga prestise dan status sosial). Pun mereka mencuri atau korup karena dorongan cinta pada harta, atau cinta untuk membahagiakan orang-orang yang mereka cintai. Perang berkecamuk karena cinta: cinta pada kekuasaan, pada dominasi. Beberapa kelompok orang yang saling membenci, saling menyerang karena cinta pada kelompok mereka saja. Cinta dengan huruf "c" kecil adalah cinta yang menggerakkan, tapi tidak mencerahkan.
Cinta dengan huruf "C" besar adalah cinta yang karena alasan itu kita dihidupkan (dari awalnya tidak ada). Cinta dari Zat yang Pengasih dan Penyanyang. Cinta yang memberi, bahkan kepada mereka yang enggan memberi. Setiap yang mencintai, pasti memberi yang dicintai. Cinta yang memaafkan, bahkan kepada mereka yang terus menerus melakukan kebejatan. Setiap yang mencintai, pasti memaafkan yang dicintai. Karena cinta-Nya, muslim diminta untuk shalat 5 kali sehari semalam (meski awalnya Dia mengharapkan 50 kali). Bahkan dalam kematian pun ada terselip cinta-Nya. Hanya Sang Pecinta yang memanggil dan ingin bertemu dengan dia yang dicintai. Bukan cinta namanya jika tak ingin bersua, tak ingin bersama, tak ingin menyatu. Bagaimana dengan siksa-Nya? Itu tanda cemburu. Hanya yang mencitai yang bisa cemburu. Tidak ada cemburu untuk yang tak mencintai.
Seorang atheis pernah bertanya, "Jika Tuhan itu ada dan benar Maha Pengasih, mengapa masih ada kelaparan dan kemiskinan?" Tuhan bukannya tidak mau dan tidak bisa membereskan itu semua. Tetapi ini bagian dari skenario Dia untuk mengajarkan kepada manusia cara mendewasakan cinta menjadi Cinta. Dengan memberi dan menolong orang yang membutuhkan, cinta kita menjadi cahaya penerang. Agama memberi panduan untuk itu. Dari cinta yang hanya menggerakkan, menjadi cinta yang menggerakkan juga mencerahkan. Saya masih percaya pada agama karena substansinya yang paling hakiki adalah mengajarkan cinta (dengan "c" huruf besar). Adalah naif jika berharap agama menjadikan kita percaya pada Tuhan dengan peribadatan yang sama. Tapi tidak mustahil agama akan menuntun kita untuk menjadi manusia yang menghormati sesama dengan cinta yang memanusiakan manusia. Gimana-gimana, sok tahu banget kan?! @aswan
No comments:
Post a Comment