Wednesday, July 19, 2017

Post-Truth: Kontestasi dan Horor*




*) Pendapat dua ahli dalam tulisan ini dikemukakan dalam konferensi internasional bertajuk “Communication Governance and Research: Post-Truth Era”, di Fisip Universitas Indonesia, Depok (11 Juli 2017). Untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat mereka dan diskusi yang saya bangun, pendapat mereka diletakkan dalam paragraf yang terpisah dengan komentar saya.



KAMUS Oxford telah memberikan gelar “the word of 2016” pada frase post-truth karena dipandang cukup mewakili apa yang telah terjadi sepanjang tahun 2016. “Post-truth” adalah kata sifat yang berarti keadaan di mana daya tarik emosional dan keyakinan personal lebih mempengaruhi pembentukan opini publik daripada fakta-fakta obyektif. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Sebenarnya post-truth bukan hal baru. Frase ini pertama kali dikemukakan tahun 1992 oleh Steve Tesich di majalah Amerika Serikat, The Nation edisi 6-13 Januari. Esai yang ditulisnya itu memuat protes atas skandal Iran-Contra yang melibatkan Presiden Ronald Reagan. Tulisan ini tidak bermaksud membedah muasal istilah itu, tetapi lebih berupaya untuk merangkai dan membangun disukusi merujuk pada paparan Prof Alwi Dahlan (Universitas Indonesia) dan Prof Ariel Heryanto (Monash University) atas Post-Truth. Ini bukan tulisan ilmiah, lebih pada hasil pembacaan saya atas paparan mereka. Dengan segala kekuranganya, tulisan ini berupaya membentangkan uraian mereka saat melihat Post-Truth, khususnya kaitannya dengan media dan konteks Indonesia.

Di bagian awal paparannya, Prof Alwi Dahlan mempertanyakan: Apa itu Truth? Dia tidak memberi jawaban yang tegas, tetapi yang tegas dia katakan Truth ada kaitannya dengan penguasa. Kaum Post-Truth biasanya berada pada posisi yang tidak memegang kuasa. Mereka yang berada pada posisi di luar lingkar kuasa itu, akan mengajukan versi Truth yang lain. Truth menjadi sebuah kontestasi dan media massa sebagai panggungnya. Publik lalu menggantungkan definisi Truth pada media. Meski demikian, keadaannya tidak berarti menjadi lebih mudah. Dengan perkembangan teknologi media, konsensus atas Truth menjadi lebih sulit ditemukan.

Prof Alwi Dahlan (foto: fisip.ui.ac.id)
Kontestasi Truth di media baru, khususnya media sosial menjadi ajang yang tak terelakkan. Menurut Prof Alwi, di media sosial setiap orang dapat membuat definisi tentang Truth. Ironisnya, media tradisional (suratkabar, radio, dan televisi) tidak jarang ikut terpengaruh dengan Truth yang hadir di ranah media sosial tersebut. Dia menggarisbawahi pentingnya merumuskan kriteria atau cara berpikir yang membawa publik pada Truth. Tanpa itu, era Post-Truth dikhawatirkan akan merusak konsep Truth yang telah ada, permanen, dan memiliki dasar filosofis. Prof Alwi mencontohkan hal itu dengan wacana penambahan lambang Garuda di tengah bendera Merah Putih. Mereka yang tidak paham sejarah, menurutnya, akan mudah menjungkirbalikkan konsep yang melatarbelakangi dua lambang tadi yang telah ajek sejak lama.

Saya dapat memahami kekhawatiran Prof Alwi. Di satu sisi, kontestasi tersebut baik adanya karena akan membantu publik menemukan Truth yang sejati. Apa yang ditutupi oleh penguasa sebelumnya, dapat terungkap saat ini. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kontestasi yang memiliki implikasi kuasa, intervensi ke ranah itu berbanding lurus dengan dampak politis yang dimungkinkan dari setiap Truth. Makin besar keuntungan politik yang mungkin akan didapat, makin besar pula intervensi politik atas isu tersebut. Akibatnya, publik kemudian menyangsikan lagi kesejatian Truth yang memenangkan kontestasi. Saya sendiri tidak begitu sepakat dengan pernyataan yang menyebut kaum Post-Truth berada di luar lingkar kuasa. Untuk kasus Amerika Serikat, justru Presiden Reagan dan Trump yang jadi penanda terminologi tersebut.

Jika Prof Alwi menyebut cara berpikir dan kriteria Truth, dalam redaksi yang berbeda, saya sepakat bila sebuah bangsa memberi penegasan atas hal-hal yang telah ajek. Tidak perlu diutak-atik atau dipertanyakan lagi kadar atau versi Truth-nya. Mungkin seperti slogan “NKRI Harga Mati” atau setegas “Katakan Tidak pada Korupsi”. Tidak perlu berpolemik tentang itu. Kita butuh batu pijakan yang stabil untuk maju, tumbuh dan berkembang. Tetapi sebagai negara demokrasi, kita tetap harus membuka ruang kontestasi Truth di luar hal yang dikecualikan tadi. Aturan main atas itu harus jelas, tegas dan adil karena kebebasan berpendapat bukan berarti setiap orang dapat berimajinasi liar dan mengklaim atas setiap hasil olah pikirnya sebagai Truth.

Masih ingat dengan Asa Firda Nihaya, pemilik akun Afi Nihaya Faradisa? Anak SMA Banyuangi, Jawa Timur ini menjadi bahan perbincangan setelah tulisannya di Facebook viral. Idenya tentang keberagaman dikagumi. Tidak urung media cetak bahkan televisi mewawancarainya. Atas dasar ‘kecemerlangan’ berpikirnya itu, ia diundang ke Istana dalam rangka perayaan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2017. Sempat beredar kabar, remaja itu akan diangkat sebagai Duta Pancasila. Ironisnya, dinamika perbincangan di media sosial pula yang menyingkap bahwa apa yang ia sampaikan itu bukanlah hasil pemikirannya sendiri. Ditemukan sejumlah kemiripan dengan tulisan dan postingan yang telah ada sebelumnya. Daya tarik emosionalnya (sebagai anak SMA yang belia tapi ‘bijaksana’) lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif tentang dia.

Saya mengakui kehebatan media sosial untuk memproduksi sekaligus merevisi kebenaran wacana. Tetapi di sisi lain, media tradisional yang miliki standar publikasi yang lebih baik dari media sosial toh kecolongan. Mereka begitu mudah menerima Truth yang beredar di media sosial tanpa melakukan verifikasi yang mumpuni. Saya pribadi sejak awal meragukan seorang anak SMA mampu menulis dengan diksi seperti itu. Media abai pada filosofi skeptisme di mana setiap jurnalis harus meragukan apa yang disampaikan oleh sumbernya sampai mereka telah melakukan pemeriksaan (check, recheck, cross check). Mekanisme ini yang dapat meyakinkan media untuk sampai pada keyakinan atas kebenaran informasi yang akan mereka sebarluaskan. Dalam kasus Asa Firda Nihaya alias Afi Nihaya Faradisa, bukan saja media konvensional dan bereputasi, tetapi Presiden, Menteri, bahkan publik Indoesia yang jadi ‘korban’.

Prof Ariel Heryanto (foto: fisip.ui.ac.id)
Lalu apakah era Post Truth itu berbahaya dan menjadi sebuah era horor? Bisa iya, bisa tidak. Prof Ariel tidak mengkhawatirkan kontestasi hingga keragaman klaim atas Truth di ranah publik. Ia justru melihat sinyal merah ketika Truth itu dilembagakan atau mengintervensi kehidupan berbangsa. Itu disebutnya sebagai “Obsesi yang Berbahaya”. Anda bisa bayangkan hidup di suatu negara di mana ada satu kelompok yang dengan begitu pongahnya menganggap diri (lebih) benar dari Anda? Bagaimana jika kelompok itu berada di dalam lingkar kekuasaan? Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Prof Ariel melihatnya itu sebagai bentukan fiksi yang bernama otentisitas. Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang berfantasi atas keaslian. Padahal tidak ada yang benar-benar asli di Indonesia. Ketika kriteria otentisitas itu diklaim dan dipaksa untuk diterapkan, ketika itu timbul gesekan-gesekan sosial. Baik berlatar agama, etnis hingga ras. Jangankan yang berbeda, bahkan dalam penganut agama yang sama pun dapat terjadi benturan-benturan akibat klaim otentisitas tadi. Energi kita sebagai bangsa terkuras untuk hal yang sejatinya fiksi belaka. Hal ini diperburuk oleh respon kita yang tidak tepat atas perbedaan (konsep Truth). Paparan Prof Ariel ini disampaikan dalam bahasa Inggris, sayangnya kemampuan bahasa Inggris saya begitu buruk hingga tidak dapat mencatat beberapa detail lain yang mungkin lebih penting.

Seperti yang sudah saya isyaraktan saat mendiskusikan pendapat Prof Alwi, saya sepakat juga dengan Prof Ariel tentang tidak mengapanya kontestasi Truth terjadi di ruang publik (termasuk media sosial). Post-Truth menjadi era yang mengerikan saat para pihak bersikeras dengan konsep Truth yang dianut oleh setiap kelompok. Tetapi saya masih merasa (masih) perlu adanya fiksi atau fantasi tentang Indonesia. Kita butuh ‘imajinasi’ untuk menyatukan keberagaman kita. Tentu tidak dengan otentisitas yang lebih banyak mengandung muatan negatif tadi, tetapi ke hal lain yang lebih konstruktif dan dapat menjadi konsensus seperti yang digambarkan Benedict Anderson dalam Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Sudah saatnya kita menggali kembali pemikiran para pendiri bangsa untuk kemudian merumuskan dengan cermat apa yang menjadi mimpi kita bersama sebagai sebuah bangsa. Peta yang akan menuntun kita melalui setiap era.

Imajinasi itu terjalin melalui komunikasi yang membentuk kesadaran kolektif. Tetapi dengan keadaan saat ini, naif bila mengharapkan peran tersebut diemban oleh media tradisional. Mereka sudah kehilangan daya pikat, bahkan nyaris tidak percaya diri ketika beririsan dengan isu-isu tertentu yang viral di media sosial. Sebagai konsumen sekaligus produsen informasi, saya mengidamkan pubik (dalam terminologi komunikasi) memiliki kedewasaan dalam mengkritisi setiap informasi. Seperti halnya media massa, sebagai alat, media baru juga dapat dikendalikan oleh elit politik, ekonomi, atau juga militer. Meski intervensi teknologi dimungkinkan untuk itu, saya kok rasanya masih ragu jika itu akan digunakan untuk agenda dan kepentingan bangsa yang lebih besar. Moga saja saya salah. @aswan

No comments:

Post a Comment