Friday, February 3, 2017

Ke Bintang, Kakek Bertandang


TAHUN Baru Cina selalu mengingatkan saya pada Kakek. Bukan karena dia merayakan. Bukan karena dia punya ikatan keluarga dengan yang merayakan. Juga bukan karena dia punya banyak teman yang merayakan (terus saya kebagian angpao gitu?!). Satu-satunya alasan yang membuat saya selalu mengingatnya adalah karena Tahun Baru Cina punya hubungan dengan laut. Saya dibesarkan di pulau, jadi laut adalah teman kami. Setidaknya, laut berpengaruh dalam keseharian kami.

"Seminggu sebelum atau setelah Tahun Baru Cina, laut biasanya tidak bersahabat," katanya pada suatu kesempatan. Dia menggunakan kata 'biasanya'. Baru sadar kalau waktu itu dia merendah. Nyatanya, saya selalu menemukan laut bergejolak jelang atau setelahnya. Ombak yang menderu, menghempas-hempas ke bibir pantai. Tepat di belakang rumah Kakek. Jaraknya pendek, mungkin sejauh lemparan batu anak TK. Saat malam, suara ombak tadi seperti tabuhan rebana. Irama pengantar tidur.

Jika melongok dari lantai loteng, hanya hamparan laut selat Buton yang kelihatan. Kaki langit tersamarkan oleh ombak atau mendung. Jarang terlihat awan biru, apalagi matahari. Kapal-kapal dan perahu ditambatkan di sisi sebelah Jembatan Batu. Jembatan yang terdiri dari tumpukan batu-batu karang itu jadi pemecah dan penghalang ombak. Tidak ada yang melaut. Atau mungkin jarang. Seminggu itu nelayan sepertinya ngambil cuti.

Belum habis penasaranku dengan pengetahuan Kakek tentang laut, di suatu Subuh dia tiba-tiba bilang: "Nak, sebentar mungkin akan datang angin kencang dan hujan." Saat itu kami dalam perjalanan ke masjid. Meski masih kanak-kanak, saya tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Kakek. Langit terlihat cerah saja. Bintang berkelip terang. Di ufuk Timur ada cahaya berwarna merah kebiru-biruan. Di langit Barat juga tak ada awan gelap.

Dalam perjalanan pulang setelah shalat dari masjid, hujan tak kunjung turun. Angin laut terasa lebih sejuk. Tidak sedingin tadi waktu pergi. "Kakek tahu dari mana nanti akan hujan?" tanya saya seperti tak percaya (eh bukan 'seperti' ding, memang tidak percaya). Dia lalu menunjuk gugusan bintang yang samar karena cahaya matahari mulai muncul. Tapi masih bisa terlihat. Cuma tetap saja saya tidak mengerti, bagaimana waktu itu dia bisa membaca bintang semudah saya membaca komik Superman. Ajaib. Belum cukup setengah jam tiba di rumah, angin kencang datang bersama hujan. Kakek tersenyum menang.

Jika ada hal yang harus saya sesali, satu diantaranya adalah tidak belajar cara membaca bintang dari Kekek. Dalam waktu yang cepat dia bisa menerka cuaca apa yang akan terjadi. Tepat menentukan arah mata angin. Tanpa kompas, hanya dengan memandang langit malam. Gugusan bintang yang dia lihat sebenarnya sama dengan bintang yang dilihat Ibrahim (alaihissalam) saat mencari Tuhan. Dan tetap sama dengan apa yang saya (juga anak keturunan saya akan) lihat kemudian. Langit selalu memberi pesan yang sama. Sayangnya, saya memandangnya dengan kebodohan yang sama.

Tahun Baru Cina selalu mengingatkan saya pada Kakek. Menghabiskan waktu di pagi hari sambil mendengarkan siaran radio ABC Australia atau BBC London. Di umur yang masih kanak-kanak, saya sudah seperti orang dewasa yang sok serius merisaukan dunia. Ada teh hangat rasa kopi yang kami seruput bersama. Dia suka menambahkan sesendok kecil kopi ke mok tehnya. Setelah itu kami bersepeda ke pelabuhan. Oh ya, di dunia sana, Kakek sering ke mana ya? Mungkin dia senang bertandang ke bintang. @aswan

1 comment:

  1. keren pak tulisannya saya sudah share sama teman teman saya

    ReplyDelete