SEJAK tinggal sementara di Bogor tahun 2014, ini salah satu kios langganan saya. Sampai awal 2017, petak kecil di Jalan Raya Cikaret (Cibinong) tersebut masih menjajakan beberapa suratkabar dan majalah. Tidak saja lokal dan nasional, ada juga yang berbahasa Inggris. Setidaknya sekali dalam seminggu saya meluangkan waktu ke sana. Entah Sabtu atau Minggu. Koran edisi akhir pekan rasanya lebih ringan. Di hari-hari lain, serius dan dapat ditebak isinya. Senjakala media cetak mungkin sedang terjadi, tetapi di sini mereka menolak untuk mati.
Tidak dapat dipungkiri, tahun 2015 beberapa media cetak gulung tikar. Sebut saja koran Sinar Harapan, Indonesia Finance Today, Tabloid Bola dan Majalah Fortune. Majalah Bloomberg dan media cetak lainnya juga akhirnya memilih berganti rupa menjadi media online, seperti Harian The Jakarta Globe dari Lippo Group. Belanja iklan di koran turun sekitar Rp1,4 triliun di rentang tahun 2014 ke 2015. Di kurun waktu yang sama, belanja iklan majalah juga turun Rp929 miliar (Mix, 11 Feb 2016). Awal Februari 2017, di satu kuliah terbuka Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Prof Alwi Dahlan bahkan menyebutkan sedikitnya tujuh media cetak di bawah bendera Kompas Group, tutup tahun 2016 lalu.
Secara pribadi, saya berharap media cetak tetap hidup. Barangkali karena alasan intelektual (yang sebenarnya emosional). Saya sendiri memperlakukan majalah hampir sama seperti buku. Sudutnya tidak boleh dilipat. Si Anhar, anak saya yang sulung pernah protes saat saya ingatkan aturan tadi. Dia bilang, "Isinya berubah yaa Pa kalau sudut halamannya terlipat?". Benar juga sih, but sorry.. I don't care! Pokoknya, sampul depan belakang jangan sampai lusuh. Perlakuan yang sedikit berbeda saya terapkan ke suratkabar. Kertasnya mudah kusut. Jadi ekstra hati-hati. Tetapi ritual membacanya yaa tetap sama dengan saat saya membaca majalah atau buku. Halamannya dibuka pelan-pelan. Tidak jarang saya mulai membaca dari belakang. Biar ada gregetnya.
Tiba-tiba saya ingat Mohammad Hatta. Beliau kalau membaca buku, majalah, atau koran, biasanya di atas meja kerja. Dengan pakaian rapi. Membaca itu ritual kontemplatif baginya. Setelah membaca, buku ditutup rapi lalu dikembalikan ke tempatnya. Yang tahu nilai dari ilmu, yang tahu betapa sulitnya menuangkan pengetahuan menjadi sebentuk tulisan yang runut dan dapat dipahami orang lain, barangkali dapat mengerti mengapa Hatta begitu 'menghormati' setiap bacaan berkualitas. Seingat saya, Hatta adalah Bapak Bangsa yang paling banyak memiliki koleksi buku dan tetap tersimpan rapi sepeninggalnya.
Oh yaa, ini sedikit gila. Ada saat di mana saya merasa buku itu seperti candu. Sama seperti majalah atau koran. Awal pekan ini saja, saya ke kampus UI Depok hanya untuk mencari buku. Buku apa saja, asal asyik. Memang, pada akhirnya tidak ada buku yang bisa diajak kencan. Tapi saya menemukan satu majalah berita mingguan dan satu majalah film. Eh, bukan satu, tapi sekaligus dua deng. Karena saya pada akhirnya memboyong juga satu majalah edisi bulan lalu yang masih terpajang. Membaca itu, seperti olah jiwa-raga. Membawa saya mengembara ke alam pemikiran lain yang tidak mungkin diraih secara fisik. Anehnya, di saat bersamaan saya menyukai sensasi permukaan kertas atau tanpa sengaja menghirup aromanya. Hehehe... maaf, mungkin saya benar-benar sedang mabuk. @aswan
No comments:
Post a Comment