SETELAH Soeharto turun 1998, banyak partai politik (parpol) berbasis Islam terbentuk. Pasca euforia Pemilu 1999, perlahan selera publik pada parpol itu ikut memudar. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya dua kali masuk tiga besar yaitu di pemilu 1999 dan 2004. Yang kembali dan tetap berjaya adalah Golkar dan PDIP. Lalu dua pendatang baru: Partai Demokrat dan Gerindra. Ke mana Islam Politik?
Parpol Islam adalah partai yang berlandaskan Islam atau menjadikan basis-basis massa Islam sebagai pendukung utamanya. Sementara Islam Politik adalah idealisme yang bertujuan untuk mengedepankan nilai-nilai Islam dalam praktik politik. Islam Politik bisa saja dalam bentuk parpol, gerakan, organisasi masyarakat, atau kelompok yang agar nilai-nilai Islam terakomodasi dalam praktik politik.
Dalam pengejawantahannya, ini yang kemudian berbeda-beda. Ada yang memilih cara radikal, moderat yang mengedepankan negosiasi, hingga pragmatis menuruti kepentingan kelompok sesaat. Ketiga gaya ini menyatu dalam 'gerakan' Islam di akhir 2016 lalu. Itu amatan saya saja. Jangan langsung dipercaya, karena biasanya salah. Hehehe...
Pemilihan Presiden 1999, di atas kertas Megawati sangat mungkin menang kalau bisa rangkul Golkar. Dalam Pemilu Legislatif 1999, PDIP dapat 153 kursi, disusul Golkar (120 kursi). Tapi kan waktu itu mereka seperti minyak dengan air. Bandingkan dengan jumlah kursi PPP (58), PKB (51), dan PAN (34), Partai Bulan Bintang (13), dan Partai Keadilan (7). Tapi setelah digabung hasilnya: 163 kursi. Saat Golkar merapat, kelar urusan. Gus Dur terpilih jadi Presiden RI yang ke-4.
Tapi itu dulu. Romantisnya tidak bertahan lama. Barangkali karena jadiannya cepat, jadi bubarnya juga bisa cepat. Yang jadiannya lama saja bisa putus di tengah jalan kan ya?! Hehehe... Yang ingin saya katakan, tidak mudah Islam Politik itu bersatu. Di sisi lain, kala bersatu, mereka sering terlihat sebagai ancaman oleh beberapa pihak. Padahal mayoritas orang Islam itu sendiri telah terbiasa hidup dalam keragaman (baca: Wajah Muslim Indonesia).
Kewaspadaan (ehem kalau tidak mau menyebutnya "ketakutan") atas Islam Politik yang terjadi saat ini, ingatkan saya pada kisah di era Soeharto. Pada Januari 1973 terjadi Fusi Partai. Jumlah parpol disederhanakan menjadi cukup tiga saja. Biar mudah 'diatur'. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan gabungan dari parpol Islam.
Tidak disangka, kebangkitan Islam Politik 'mengagetkan' Soeharto pada Pemilu 1977. PPP raih 29% suara (99 kursi). Islam Politik yang diwakili PPP ketika itu menarik simpati publik karena berani 'melawan' Soeharto. Mereka melakukan aksi walk-out dari ruang DPR pada tahun 1974 dan 1978.
Entahlah, Islam Politik selalu dilihat sebagai "ekstrim-kanan" yang berbahaya. Padahal bukan Islam Politik saja, demokrasi sekalipun, kalau dijalankan dengan cara yang menyimpang, akan gaduh juga. Demokrasi yang bergerak on the track saja bisa dibajak oleh pemimpin seperti Trump. Sistem ternyata bukan segalanya. Tergantung bagaimana menjalankannya.
Sepanjang dekade 70-an sampai 80-an akhir, Islam Politik dihambat secara sistematis. Sikap represif itu bisa dilihat antara lain pada Tragedi Tanjung Priok 1984. Termasuk tokoh-tokoh Islam Politik dideskreditkan bahkan ditangkap. Aksi 'bersih-bersih' ini terorganisir di bawah Operasi Khusus (Opsus) dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sekarang dengan ruang dan waktu yang berbeda, mungkinkah Islam Politik seperti mengulang kisah empat dekade lalu? #nanyadoang @aswan
No comments:
Post a Comment