MEME dengan latar kelompok penyanyi Koes Plus itu bertulis kalimat yang isinya kurang lebih seperti ini: "Jika bertamu mereka, coba tanya, bagaimana cara agar hati tetap senang walaupun tak punya uang". Itu salah satu potongan lirik lagu mereka yang menggambarkan bujangan yang tetap bahagia meski tak punya uang. Bisa ya?! Hidup di kota besar seperti J saat ini membuat kalimat itu menjadi seperti olok-olok saja. Susahnya mencari uang untuk dapat bertahan hidup, ditambah tingginya biaya serta tanggungan hidup, membuat lagu hanya menjadi sekedar pelarian. Penghibur diri biar tetap tegar.
Saat malam, pulang ke rumah tempat saya menginap, lima sampai tujuh perempuan berdiri di bawah lampu merkuri. Tepat di tepi danau S. Kata ojek yang beberapa kali mengantar saya pulang, mereka itu pekerja sex. Sekali diajak sekitar Rp 300 ribu (setara dgn $25 US). Seperti halnya para perampok, tidak bermaksud untuk membenarkan apa yang mereka lakukan, tetapi saya dapat memahami kondisi yang memaksa mereka* memilih jalan pintas. Bukankah hidup terkadang tidak seindah yang kita impikan? @aswan
*Note: ini tidak termasuk para koruptor yaa, yang hidupnya sudah mapan tetapi masih tetap saja kemaruk.
Friday, February 27, 2015
Saturday, February 21, 2015
Tembok Ratapan Pemulung
(c) aswan zanynu |
YANG sering melintas di Stasiun UI Depok, tahu mural ini. Di sisinya saya mengambil gambar ini ada beberapa peminta-minta. Miris saja melihatnya karena di sebelah tembok itu ada apartemen megah menjulang. @aswanpov
Thursday, February 19, 2015
Dua Komen Imlek
HARI itu saya menulis satu twit iseng: "katanya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tp saat lihat tv, lebih rame perayaan Tahun Baru Imlek drpd Tahun Baru Islam #tv&realitas". Ada dua komentar yang masuk. Pertama: "Imlek jelas lebih mendunia". Kedua: "Indonesia tak selebar layar tv Bro". Saya tidak berselera membalas dua mention itu. Rasanya seperti memperdebatkan isi berita dengan orang yang tidak pernah jadi jurnalis. Pertama, imlek memang mendunia, tapi televisi Indonesia kan untuk orang Indonesia. Berapa persen populasinya yang merayakan itu? Imlek di tv lebih merupakan afirmasi atas minoritas (yang mengaburkan identitas mayoritas). Sahutan kedua yang menyebut Indonesia tidak selebar layar tv juga sangat menyederhanakan masalah. Sebagai media dominan, tv itu punya kuasa untuk membentuk realitas di kepala kebanyakan orang. Sekali lagi "membentuk", bukan "menyajikan". Identitas kita sebagai bangsa ditegaskan oleh apa yang dikonstruksi media dalam tampilan pesannya. Bagaimana, Anda percaya dengan bualan saya ini?! @aswan
Wednesday, February 18, 2015
Plagiat 50 Persen
BUTUH waktu 2 hari untuk menyelesaikan paper tugas kuliah itu. Butuh waktu hampir seminggu untuk membaca 6 buku tebal referensinya. Dan tahukah Anda, hanya dengan waktu kurang dari 1 menit, paper sepanjang 1.000 kata itu diklaim memiliki 50 persen unsur plagiat. Hebat kan?! Itulah hasil kerja paperrater (dot) com. Di situs itu, paper saya dihakimi memiliki kemiripian dengan isi wikipedia (dot) org. "Apa yang mas Aswan tulis itu mungkin juga sudah dibahas oleh banyak orang di internet," kata asisten profesor saya. "Tulisanmu pasaran," ejek seorang teman. Saya meradang dong?! Tidak sedetikpun saya melirik situs itu saat membuat paper. Ajaibnya, seorang teman yang nyata-nyata mengutip situs ensiklopedia berjamaah itu, tidak terdeteksi oleh paperrater. Hellooow... Bagaimana dengan mereka yang melakukan plagiat tapi tidak dari sumber tulisan yang terpajang di internet? Asyik kan?! Mudah-mudahan profesor saya lebih percayai paparan di kelas daripada vonis situs "sok tau" tadi. Tapi, apa iya? Kalau tidak percaya pada situs itu, buat apa asistennya harus mengecek paper kami? Nah?! @aswan
Tuesday, February 17, 2015
We Welcome You
(c) aswan zanynu |
SAYA tertarik saja lihat wayang golek secantik ini. Pakaiannya anggun. Tapi kalau memotretnya sendiri juga rasanya garing. Untung ada pak Satpam yang berdiri pada sudut pengambilan gambar yang pas. Itu saja sih idenya. Gambar saya ambil dengan kamera iPhone 4 di Universitas Indonesia Depok. @aswanpov
Sunday, February 15, 2015
Ambisi atau Motivasi *
KAMI terlibat adu argumentasi sore itu. Apa yang dibutuhkan seorang anak untuk bisa sukses di sekolah: ambisi atau motivasi? Dia menyebut ambisi. Saya sendiri lebih suka motivasi. Tapi kata dia, setiap orang yang ingin sukses "pasti punya ambisi.. bohong kalau tidak ada. kalau tidak punya ambisi, ya dia pasti tidak sekolah". Saya sendiri lebih memilih motivasi daripada ambisi. Motivasi berarti "dorongan yang timbul dalam diri seseorang secara sadar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu". Sementara ambisi derajatnya lebih tinggi daripada motivasi. Ada "dorongan yang sangat kuat untuk mencapai sesuatu". Dia mungkin benar karena kalau hanya sekedar motif tapi kalau tidak kuat, tetap tidak berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan. Karena itu yang dibutuhkan ambisi, bukan motivasi.
Saya tidak ingin berdebat soal bagaimana sebuah kata diinterpretasikan. Pengalaman hidup justru mengajarkan pada saya, ambisi itu tidak cocok untuk orang seperti saya. Waktu SD, saya pernah punya ambisi untuk jadi juara. Belajar keras, eh hasilnya sangat tidak memuaskan. Tetapi ketika saya menurunkan ambisi menjadi motivasi, saya justru menyabet juara. Meski sebenarnya bukan itu yang saya inginkan ketika belajar. Waktu itu saya belajar yaa.. karena ingin belajar saja. Tidak perlu juara, yang penting bisa jawab satu dua soal dari guru, rasanya sudah cukup. Tidak mempermalukan orang tua. Dalam ambisi ada target tinggi. Ini cocok untuk orang yang dapat beradaptasi di bawah tekanan. Itu bukan tipe saya. Saya justru suka yang biasa-biasa saja. Jadi wajar saja kan kalo hidup saya biasa-biasa saja. Hehehe.. Tapi apapun itu, yang penting saya bahagia dan tidak merasa bekerja di bawah tekanan target yang saya buat sendiri. Bagi saya, ambisi itu bentuk lain dari menyiksa diri sendiri. Itu versi saya lho ya?! Jangan ditiru. @aswan
*) untuk A.A.
Saya tidak ingin berdebat soal bagaimana sebuah kata diinterpretasikan. Pengalaman hidup justru mengajarkan pada saya, ambisi itu tidak cocok untuk orang seperti saya. Waktu SD, saya pernah punya ambisi untuk jadi juara. Belajar keras, eh hasilnya sangat tidak memuaskan. Tetapi ketika saya menurunkan ambisi menjadi motivasi, saya justru menyabet juara. Meski sebenarnya bukan itu yang saya inginkan ketika belajar. Waktu itu saya belajar yaa.. karena ingin belajar saja. Tidak perlu juara, yang penting bisa jawab satu dua soal dari guru, rasanya sudah cukup. Tidak mempermalukan orang tua. Dalam ambisi ada target tinggi. Ini cocok untuk orang yang dapat beradaptasi di bawah tekanan. Itu bukan tipe saya. Saya justru suka yang biasa-biasa saja. Jadi wajar saja kan kalo hidup saya biasa-biasa saja. Hehehe.. Tapi apapun itu, yang penting saya bahagia dan tidak merasa bekerja di bawah tekanan target yang saya buat sendiri. Bagi saya, ambisi itu bentuk lain dari menyiksa diri sendiri. Itu versi saya lho ya?! Jangan ditiru. @aswan
*) untuk A.A.
Saturday, February 14, 2015
Untuk yang Dicintai
APAKAH ada batas pengorbanan yang harus diberikan pada kekasih yang kita cintai? Saya yakin film Mud (2012) ingin berargumentasi dalam gambar tentang hal itu. Sekali lagi tentang cara berpikir rasional dalam cinta. Tokoh Mud (diperankan Matthew McConaughey) harus membunuh demi wanita yang ia cintai. Dua remaja pria membantunya. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk keluar dari pulau persembunyiannya. Ellis, si anak remaja usia 14 tahun (Tye Sheridan) dan sahabatnya Neckbone (Jacob Lofland) menjadi dua tokoh yang mendukung alur cerita. Oh ya, setelah membuka data tentang film ini saya menemukan bahwa ada lebih dari 2000 anak yang diaudisi untuk peran tokoh Neckbone.
Ellis sendiri punya kisah cinta yang mirip dengan Mud. Dia juga sedang jatuh cinta dengan kakak kelasnya. Meski masih muda, seolah Ellis dapat berempati pada Mud. Kekuatan film ini terletak pada alur ceritanya yang sulit ditebak. Mungkin karena sutradara sekaligus penulis cerita ini, Jeff Nichols telah mempersiapkan semua konsepnya sejak 1990an. Dia lebih muda 3 tahun daripada saya. Tapi karyanya luar biasa. Karakter tokoh dalam filmnya tersibak satu demi satu sepajang cerita. Pada akhirnya film ini ingin menunjukkan, sesuatu yang mesti diutamakan ketika kita sudah berkorban demi cinta. Apa hayo?! @aswan
Wednesday, February 11, 2015
Reformasi "Mesin Cetak"
SEJATINYA tidak tepat disebut mesin cetak. Ketika itu yang ditemukan Gutenberg adalah movable type. Kumpulan huruf yang terbuat dari timah yang dapat disusun menjadi kalimat lengkap dan paragraf lengkap dengan tanda bacanya. Dicelupkan ke tinta. Lalu kumpulan lempengan tadi ditempelkan pada lembaran kertas. Jadilah lembaran yang awalnya putih kini menjadi bertulis. Yang pertama dicetak oleh Gutenberg adalah injil. Tampaknya biasa saja jika ia mencetak injil. Setidaknya ini menggambarkan religiusitas Gutenberg. Tetapi sedikit orang yang pada akhirnya sadar kalau cetakan injil akhirnya menciptakan perubahan besar. Dipimpin oleh Martin Luther, ini yang kemudian memicu reformasi dalam agama Kristen di Eropa. Dalam kuliahnya, Prof Alwi Dahlan menyebut istilah "reformasi" pertama diperkenalkan dari kejadian ini. Injil kemudian tidak hanya disimpan, dibaca, dan diinterpretasikan oleh pendeta dan gereja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang awam. Meski tidak secara langsung berhubungan, temuan Gutenberg dapat disebut memberi kontribusi bagi lahirnya ajaran Protestan. Manusia membentuk teknologi, dan pada akhirnya teknologi membentuk (segala aspek dari kehidupan) manusia. @aswan
Monday, February 9, 2015
Ikan-ikan di Dinding
(a) aswan zanynu |
Sunday, February 8, 2015
Cicil atau Tunai?
PERJALANAN hidup saya lebih sering menggiring pada opsi pertama: cicil. Kalau mau tunai, sampai tua rasanya saya tidak akan bisa punya rumah. Ngontrak melulu. Berapa gaji PNS? Kalo mau korupsi atau nyambi pekerjaan lain yang nyrempet-nyrempet gitu, mungkin bisa. Tapi untuk orang yang mencoba hidup baik-baik dalam menjalankan fungsi sebagai abdi negara seperti saya (halah!), itu luar biasa beratnya. "Bagaimana saya bisa menjamin kalau bulan depan ada penghasilan untuk bayar cicilan? Gaji PNS kan segitu saja?!" kata adik saya yang lebih memilih untuk membayar tunai. Hmmm... ada benarnya juga sih. Dia lebih suka menabung lalu bug, uang segepok ditukar dengan barang. Eh tapi saya pernah menemukan tipe PNS yang justru merasa tertantang dengan cicilan (baca: utang). Itu yang memotivasi dia untuk mencari lebih banyak uang setiap bulan. Dan saya belum termasuk tipe orang seperti itu. Tolong dicatat yaa: "belum" bukan berarti "tidak". I'm working on it! :) @aswan
Saturday, February 7, 2015
Adam dan Surga
ENTAH berapa kali Guru selalu mengulangi kisah ini. Surga itu tidak mudah. Kisah nabi Adam sebagai Bapak Manusia, ada di dalam agama samawi. Ia pertama kali tinggal di surga bersama istrinya. Kata Guru, hanya karena satu kesalahan, sekali lagi satu kesalahan, mereka dikeluarkan dari surga. Sementara kita, anak cucunya, yang belum pernah mampir ke surga walau hanya sekali, 'bermimpi' kepingin masuk surga dengan mudah. Dengan amal ibadah yang sangat apa adanya, dengan kesalahan yang tidak apa adanya. Yang sudah tinggal di surga saja bisa dikeluarkan, apalagi yang belum pernah tinggal di sana dan kepingin ke sana. Terlepas dari beragam makna simbolik di balik kisah penciptaan Adam dan kesalahan yang ia lakukan, analogi yang diajarkan Guru saya ini sederhana. Sayangnya masih terlalu berat untuk saya jadikan panduan hidup. Tentu ini hal yang memalukan bagi seorang Guru karena miliki murid sedungu saya. Semoga dia (tetap) mau menerima dan mengakui saya sebagai muridnya. Tuhan, ampuni kebodohanku. Amien. @aswan
Wednesday, February 4, 2015
Harga Oase Burung
AWALNYA saya senang dengan genangan air depan rumah ini. Di siang hari kawanan burung kecil biasanya singgah minum atau bermain air di situ. Senang saja melihat mereka dari balik jendela bermain di sekitar genangan. Melompat. Berpindah. Seperti merayakan sebuah oase. Semuanya berubah ketika genangan itu melebar dan sedikit dalam menjadi kubangan. Air yang ditampung jadi lebih besar dari biasanya. Sebenarnya akan lebih indah kalau disulap menjadi kolam ikan. Tapi tentu itu akan menyesakkan. Buah mangga dekat rumah saja sering dipetik orang yang merasa itu milikinya, apalagi ikan yang ada dalam kolam di tepi jalan. Lalu diputuskanlah untuk menimbun dengan kerikit berpasir. Fantastis! Hampir separuh gaji sebulan PNS-ku habis untuk itu. Harga kerikil yang mahal atau gaji PNS yang sangat kecil, bahkan untuk menimbun oase milik kawanan burung kecil? Entahlah?! @aswan
*ga asyik ya, ujung-ujungnya curhat. hehehe...
*ga asyik ya, ujung-ujungnya curhat. hehehe...
Tuesday, February 3, 2015
Meramu Kembali "Taken"
Monday, February 2, 2015
After the Rain
(c) aswan zanynu |
PEMANDAGAN iseng ini saya ambil menggunakan lensa lomo dari iPhone 4, sore hari setelah hujan mengguyur pelataran MTQ, Kendari. Saya ingin bermain-main dengan perspektif. Tidak ada yang salah bukan? Saya selalu percaya, beberapa obyek akan terlihat atau mungkin terlihat lebih indah jika diintip dari sudut yang berbeda dengan cara yang tidak biasa. Sotoy banget kan?! @aswanpov
Sunday, February 1, 2015
Penjelasan Gagal Fokus
BARU melintas begitu saja di kepala penjelasan mengapa orang seperti saya sering gagal fokus. Jawabannya, karena saya ingin bebas. Tidak mau terkungkung pada jadwal atau target. Harus begini, harus begitu. Fokus kadang membuat hidup jadi begitu dipaksakan. Tidak mengalir alamiah. Padahal menikmati hidup kan harusnya dengan cara yang menyenangkan, bukan menyusahkan. Meski ada pepatah "Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian", tapi itu dulu. Prinsip terbaru dan teraktual versi saya: Kalau bisa senang, mengapa harus jalani hidup dengan cara yang susah. Ada gaya, ada harga. Dengan gaya hidup yang sering gagal fokus, saya harus membayar harga mahal dari mundurnya beberapa target. Tapi sudahlah, buat apa mengejar target di depan yang belum pasti, jika hari yang seharusnya dapat dijalani dengan indah tak kau nikmati? Gimana? Asyik kan?! @aswan
Subscribe to:
Posts (Atom)