Monday, May 23, 2016

Yang Mundur Sebulan

*thanks to Amia Luthfia for taking the pictures

UJIAN proposal disertasi saya, sedianya dilakukan akhir April 2016. Entah bagaimana tiba-tiba harus dijadwalkan kembali nanti pada akhir Mei. Stress menunggu sebulan itu tidak asyik. Karena sebelum April pun saya sudah melewati masa-masa menegangkan yang sama tidak enaknya. Boleh dibilang berpuncak pada akhir Maret. Jika ditarik ke belakang, butuh satu setengah tahun waktu untuk mengkonstruksi dan merekonstruksi ide, teori, dan metodologi. Berkali-kali membongkar pasang pemikiran dari nol. Meski melelahkan, memulai dari halaman satu itu lebih menantang daripada mengutak-atik puluhan halaman proposal yang sudah jadi. Sok jago banget ya?!

Di ruang ujian, tanpa Promotor dan Co Promotor (baca: Pembimbing), berhadapan sendiri head to head dengan 6 guru besar dan 2 doktor itu seperti horor ilmiah. Formasi guru besar hadir semua: Prof Sasa, Prof Alois, Prof Zul, Prof Ilya, Prof Billy, dan Prof Ikrar. Satu doktor penguji tidak hadir, yang ada hanya Dr Pinckey. Ditemani sekretaris tim penguji: Pak Edu yang kompetensinya luar biasa. Untuk topik yang saya angkat, justru dialah yang banyak berkontribusi. Ujian berjalan dua jam lebih. Sangat konstruktif, meski masih ada poin-poin yang rasanya masih luput. Beberapa teman yang hadir saat ujian menyebut saya beruntung. Ada "Tangan Tuhan" yang bekerja. Ujian sebelumnya yang mereka ikuti: geger menghentak. Bahkan sebagai penonton pun, meraka seolah ingin segera melambaikan tangan ke kamera (tanda tak tahan berada dalam suasana teror urat saraf). Oh ya, hari ini saya orang kedua yang diuji. Sebelumnya 'S', teman seangkatan saya.

Tidak bermaksud mendramatisir apa yang saya alami, karena setiap ujian seperti itu punya dinamika sendiri. Sangat personal sifatnya. Tidak akan sama bagi setiap mahasiswa, tetapi bisa dipahami bagi siapa yang pernah melewatinya. Sekedar gambaran kecil, kontak mata saat ditanya oleh satu dari penguji saja, suasananya seperti berhadapan dengan dua lubang moncong senapan yang biasa dipakai dalam film action Hollywood itu lho? Betapa tidak mudahnya untuk bisa berpikir jernih, berbicara runut, logis sekaligus argumentatif dalam keadaan di bawah tekanan seperti itu.

Di setiap ujian ilmiah, mahasiswa akan selalu dihadapkan oleh turbulensi (guncangan) psikis. Saya tahu itu karena pernah lalui di jenjang sebelumnya. Makin kuat mengatasi turbulensi itu, makin besar peluang untuk berargumentasi dengan narasi yang logis. Sekali lagi, saya tahu 'teorinya'. Tapi tidak semua yang kita tahu otomatis dapat kita gunakan saat dibutuhkan, bukan?! Itulah anehnya hidup, karena pengetahuan saja pun tak cukup. @aswan


No comments:

Post a Comment