17 Agustus 1966. foto: AFP |
"SURAT Perintah Sebelasa Maret (Supersemar) adalah sebuah peralihan kekuasaan yang dramatis, tetapi sebenarnya terjadi dari sejumlah peristiwa yang kebetulan" (h.65). Begitu ungkap Jusuf Wanandi. Narasi yang dia sampaikan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan versi Orde Baru. Yang menarik bagi saya, karena kisah ini dituturkan seorang aktivis Katolik di lingkar dalam yang terhubung dengan Soeharto.
Ada dua pasal dalam Supersemar. Pertama, Soekarno "menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil langkah apa pun yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum. Perintah kedua adalah memintanya untuk melindungi presiden, semua anggota keluarga, hasil karya, dan ajarannya. ... Pasal kedua, mengenai perlindungan bagi Soekarno, tidak lama sesudah itu, dicoret dari dokumen tersebut" (h.68).
Jusuf Wanandi tidak menjelaskan alasan pasal kedua dicoret. Dia juga tidak menyebutkan, siapa yang melakukan itu. Tidak ada keterangan tentang di mana dokumen asli tersebut berada dan siapa yang menyimpannya. Yang jelas, pada 12 Maret 1966, salinan Supersemar dan surat pembubaran Partai Komunis Indoensia (PKI) disebarluaskan. Bagaimana Supersemar digandakan serta versi mana yang disebarluaskan (yang telah dicoret atau versi awalnya), pun tidak disebutkan dalam memoar Jusuf Wanandi.
Pada 14 Maret 1966, Soekarno memanggil semua panglima ke istana dan memarahi mereka karena surat perintahnya tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI. Tapi Soeharto "berlaku pura-pura tidak tahu" (h.69). Bahkan sesudahnya ia menetralisir satu per satu panglima yang dianggap pro-Bung Karno.
Di atas kertas, sebenarnya Soekarno dapat menghentikan gerakan Soeharto. Tapi tidak ada alasan yang cukup kuat untuk lakukan itu. Soeharto membuktikan bahwa dia mampu mengendalikan situasi. Dia populis dan berhasil meraih simpati mahasiswa dan rakyat. Jusuf Wanandi memetakan, bagaimana militer ketika itu yang mayoritas masih loyal kepada Soekarno.
"Angkatan Udara di bawah Omar Dhani tidak hanya separuhnya pro-Soekarno, tetapi juga sudah terinfiltrasi PKI. KKO (Korps Komando Angkatan Laut) dengan 40.000 anggotanya di bawah Jenderal Hartono, sepenuhnya mendukung Bung Karno" (h.63). "Polisi di bawah pimpinan Soetjipto Joedodihardjo juga pro-Bung Karno dan tidak senang berada di bawah Angkatan Darat. Angkatan Laut ... pro-Soekarno ketika dipimpin Muljadi" (h.64).
Angkatan Darat pun terpecah. Loyalis Soekarno masih ada. Asisten Intelijen, panglima Jawa Barat, Panglima Jawa Tengah, Panglima Jakarta Raya, bahkan Deputi Operasi yang berada di bawah komando Soeharto pun masih pro-Bung Karno. Jadi dapat dipahami mengapa butuh tiga tahun untuk dapat menggusur Soekarno. Tidak dengan bergerak cepat, tapi selangkah demi selangkah dia bergerak agar tidak dianggap sebagai kudeta.
Mahasiswa pada awalnya marah pada Soeharto yang membiarkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dibubarkan. Tapi Soeharto ketika itu dengan tenang menjawab, "Kalau kalian ingin saya yang memimpin, ... kalian ikut cara saya. Kita harus mundur satu langkah. ... Sekali-sekali, kita harus bergerak ke samping. Kalau kalian tidak dapat mengikuti saya, silahkan benturkan kepala kalian pada tembok" (h.64).
Supersemar adalah capaian “tiga perempat jalan. Dengan itu, PKI dilarang, kabinet dirombak, dan meteri yang prokomunis disingkirkan” (h.70). Dari Jusuf Wanandi saya baru mengetahui bahwa di masa genting itu, ‘musuh’ para aktivis yang berada di belakang Soeharto adalah Tjakrabirawa. Tidak itu saja, mereka juga harus head to head dengan kelompok mahasiswa yang pro komunis seperti GMNI-ASU (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Ali Surachman) dan Baja (Banteng Jakarta).
Di sisi lain, kepercayaan publik pada Soekarno terus tergerus. Ia mengambil langkah yang tidak populis seperti mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak di awal tahun 1966, sementara laju inflasi ketika itu mencapai 660 persen. Pada pelantikan kabinet 20 Februari 1966 ––yang dilakukan Soekarno untuk memenuhi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), mahasiswa melakukan aksi menggembosi semua ban kendaraan. Jakarta macet total. Banyak yang urung ke istana. Menteri Perdagangan Jenderal Soekendro terpaksa datang naik sepeda.
Mengapa para aktivis menggalang dukungan untuk Soeharto? Harry Tjan* dan Mashuri** pernah ditanya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada November 1965. Kata Sultan, "Kalian yakin dengan pilihan itu? Kalian tahu apa arti namanya? Harta" (h.71). Tetapi mereka menjawab, "Soeharto adalah satu-satunya yang berani melawan Bung Karno pada saat negara tengah kritis. Sri Sultan setuju" (h.71). Dia kemudian menjadi Wakil Presiden tahun 1973-1978. @aswan
Catatan:
Tulisan ini disusur berdasarkan kesaksian Jusuf Wanandi tahun 2012 dalam memoarnya Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998. Nanti dua tahun kemudian barulah buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Halaman yang dicantumkan dalam artikel merujuk pada buku berbahasa Indoensia terbitan Kompas (2014).
*) Bisa jadi yang dimaksud adalah aktivis Katolik, Harry Tjan Silalahi.
**) Mungkin yang dimaksud adalah Mashuri Saleh, Menteri Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia masa Soekarno (Maret - Juli 1966). Dia tetangga Soeharto yang menyaksikan dan melaporkan gerakan-gerakan militer yang mencurigakan di daerah Jakarta Pusat pada 1 Oktober 1965.
No comments:
Post a Comment