(pojok kiri atas searah jarum jam) Sachiko Murata, Karen Armstrong, Nawal El Saadawi, Jhumpa Lahiri |
PADA hari Perempuan Internasional, saya ingin "berterima kasih" kepada Sachiko Murata, Karen Armstrong, Nawal El Saadawi dan Jhumpa Lahiri. Waktu posting kalimat singkat ini via FB, beberapa teman berkomentar dan mulai menyebut sejumlah nama. Mulai dari Aung San Suu Kyi sampai Maria Ozawa. Nama yang pertama, terlalu politis (yang kemudian terbukti tidak seideal citranya). Nah nama yang kedua, justru terlalu populis. Hehehe... Tapi saya ingin cerita sedikit tentang "perkenalan" saya dengan empat nama tadi.
Sachiko Murata, Guru Besar bidang Agama dan Kajian Asia. Saat kuliah S1 di semester dua atau tiga (1993), saya sudah dipukau dengan karyanya The Tao of Islam. Murata membangkitkan kejumudan berpikir saya tentang Islam, terlebih lagi tentang Tuhan dan semesta. Dia mengajarkan tentang perspektif jagat yang maskulin dan feminin. Tidak tanggung-tanggung, Murata mengulik begitu banyak kitab klasik sufi. Sangat luar biasa untuk ukuran mahasiswa sedungu saya. Itu yang membuat saya makin paham mengapa Islam mewajibkan pernikahan. Bukan untuk berketurunan saja, tapi tentang rahasia kesatuan semesta yang ada di balik itu.
Hampir serupa dengan Murata, Karen Armstrong juga mendekati kajian agama dan Tuhan tapi dari perspektif sejarah. Menarik. Karen Armstrong bertutur runut. Enak dibaca. Lugas. Lengkap tapi tidak membingungkan. Dia memiliki kemampuan deskripsi yang luar biasa meski hanya melalui studi literatur. Otaknya seperti berisi begitu banyak folder ide yang bisa dengan mudah dikelola. Untuk ukuran saya, meramu tiga atau lima buku saja menjadi satu tulisan yang menarik, rasanya cukup melelahkan. Tapi tidak dengan Armstrong. Dia begitu produktif. Satu-satunya penulis yang bukunya paling banyak saya koleksi adalah Karen Armstrong*. Yang terbaru (saat tulisan ini saya buat), Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014).
Nawal El Saadawi dan Jhumpa Lahiri berkontribusi dalam memberi warna otak kanan saya. Novel Perempuan di Titik Nol (Woman at Point Zero) karya Nawal El Saadawi, kuat menghentak. Mungkin karena bercerita dengan gaya yang blak-blakan tentang nilai-nilai masyarakat (muslim) patrilinear di Mesir. Dan makin mencengangkan karena dituturkan oleh seorang perempuan. Novel ini ditulis tahun 1975. Tetapi nanti pada 1983 baru dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Mungkin sekitar tahun 1992 baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kalau Jhumpa Lahiri, dia berhasil menggambarkan obyek ceritanya dengan cara yang begitu detail. Saya terkesima dengan novelnya The Namesake. Novel ini seperti film yang ditransfer dalam bentuk rangkaian kata-kata (bukan gambar). Lahiri seorang pengamat sekaligus penutur yang bisa memindahkan apa yang ada dalam imajinasinya, tetap dalam bentuk yang sama, ke dalam penerimaan pembacanya. Setidaknya itu yang saya rasa. Berbeda dengan Sadawi yang bermain di ranah nilai dari kisah, Lahiri lebih senang berlama-lama dengan ornamen-ornamen cerita yang mungkin membosankan bagi sebagian orang. Tapi saya suka. Dan kepada empat perempuan itu, sekali lagi saya ingin berterima kasih. "Kalian keren!" @aswan
*) Catatan
Buku-buku Armstrong dalam koleksi saya: Holy War: The Crusades and their Impact on Today's World (1988) | Muhammad: A Biography of the Prophet (1991) | A History of God (1993) | Jerusalem: One City, Three Faiths (1996) | Islam: A Short History (2000) | The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000) | The Spiral Staircase (2004) | Muhammad: A Prophet For Our Time (2006) | The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006) | The Bible: A Biography (2007) | The Case for God (2009) | Twelve Steps to a Compassionate Life (2010) | Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014)
No comments:
Post a Comment