SEORANG teman tiba-tiba mengeluhkan apa yang dia jalani. "Aku hidup dalam imajinasiku. Segalanya ingin aku lihat, ingin aku cocok-cocokkan dengan apa yang aku impikan." Begitu katanya. But let me say. Apa ada orang yang tidak hidup dalam imajinasinya? Kita semua hidup dalam imajinasi kita. Kita belajar, bekerja, melakukan aktivitas sehari-hari untuk mewujudkan imajinasi kita atas hidup yang ingin kita jalani. Manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh mimpi-mimpinya. Bedanya, ada yang sadar kalau apa yang ia jalani adalah bagian dari imajinasinya dan mempersoalkannya (seperti teman saya tadi). Ada pula yang sekedar menjalani hidup seperti yang mereka inginkan, yang mereka impikan tanpa mempersoalkannya. Asal jangan jadi yang ketiga, yang menolak menerima hidup jika itu tidak seperti yang mereka imajinasikan. Mereka ada dalam jebakan imajinasi yang mereka ciptakan sendiri.
Menurut teori Imajinasi saya, dua hal yang penting yang harus ada dalam sebuah jaring imajinasi yang aman, yang tak menjebak seperti tadi. Pertama, saya masih dapat membedakan mana cita, mana realita. Jangan mencampuradukkan kedua hal itu. Cita ada di dunia ideal yang saya bentuk sendiri. Realita ada di dunia nyata, di mana saya tidak sendiri. Ada campur tangan pihak lain di situ. Jadi saya harus berdamai dengan itu. Kedua, imajinasi itu penting karena itu yang membuat saya berusaha. Mendorong saya melakukan apa yang saya inginkan dengan senang hati. Bekerja dengan imajinasi seharusnya membuat saya bahagia. Bahagia karena di ujung jalan menanti impian yang saya perjuangkan. Kalau impian itu tak kunjung ada, setidak saya harus bahagia karena sudah melakukan apa yang memang ingin saya lakukan. Imajinasi seharusnya membuat saya bersyukur, akur dengan kenyataan. Asyik. @aswan
No comments:
Post a Comment