Sunday, May 24, 2015

Si Pembawa Sial

PERNAH dengar dalam sebuah kecelakaan besar, ada seorang yang hidup, atau hanya mengalami cedera kecil? Kita umumnya akan mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang terselamatkan. Orang yang dilindungi Tuhan. Tapi adik saya justru berkata lain. "Tidak semua orang akan berpikir seperti itu," katanya. Jika tragedi, katakanlah seperti kecelakaan pesawat, itu terjadi di Jepang, yang orang yang selamat itu yang akan disebut sebagai si Pembawa Sial. Kok bisa? Ternyata mereka menganggap orang tersebut adalah penyebab kecelakaan yang merenggut nyawa semua orang. Katanya, orang Jepang melihat si Pembawa Sial ini dapat tetap hidup dengan 'mengorbankan' hidup orang lain. Orang itu dicap bersekutu dengan setan. "Kamu tahu dari mana?" tanyaku penasaran. "Dari film-film Jepang," jawabnya serius. Percaya?! @aswan

Friday, May 15, 2015

Guru yang Skeptis

SATU pesan singkat saya kirim pagi itu kepada Prof Alwi. Tahun 2015, guru besar emeretus ini berulang tahun yang ke-82. Ia unik di mata saya. Dia guru dari dua guru saya: Prof A Muis dan Prof AS Achmad. Hanya usianya yang sepuh, analisisnya atas setiap tema tetap tajam. Saya terseok mengikuti atau bahkan sekedar menebak arah dari cara berpikirnya. Saat lelah berpikir, kadang saya mengambil jeda hanya untuk mendengarkan kembali pembelaan yang muncul dari dalam benak saya. Suara itu berkata lebih kurang seperti ini: "Sudahlah, jangan kau paksa dirimu. Kasta berpikirmu berbeda jauh dengah gurumu. Belajarlah menerima kenyataan itu."

Dia mengajarkan kami untuk selalu berpikir skeptis, mempertanyakan setiap buku yang kami baca, siapa pun penulisnya. Dia bahkan mempersilahkan kami untuk tidak langsung mempercayai apa yang disampaikannya. Meski diberondong dengan puluhan pertanyaan dan justru menimbulkan kebingungan baru, saya menemukan satu pola yang sama. Ia mengajarkan untuk selalui mencari hal yang esensial dari segala konsep ilmu dan tetap berpikir kritis. Sesederhana itu. Selamat Ulang Tahun Prof. Semoga Tuhan mengaruniakan keberkahan umur dan ilmu. Salam Takzim. @aswan

Thursday, May 7, 2015

Mengapa (Kita) Senyum?

INDONESIA termasuk negara berpenduduk ramah. Begitu kata survey. Seramah itukah kita? Sebut saja begitu. Meski saya sendiri tidak mengetahui dengan pasti metode survey dan cara pengukuran indeks yang dilakukan untuk menakar tingkat keramahan sebuah bangsa. Jika ditanya satu per satu, setiap orang punya alasan untuk terseyum kepada orang lain. Tanda hormat. Simbol penerimaan. Ingin menunjukkan rasa senang, cinta, atau bahagia. Berpura-pura ramah. Basa-basi. Kode biar diperhatikan. Menutupi rasa canggung atau malu. Daftar alasan itu masih panjang. Yang pasti, dengan senyum kita ingin berbagi. Lalu mengapa harus senyum yang dibagi, bukan yang lain. Boleh jadi karena itulah 'harta' yang dapat dibagi. Saya kemudian membayangkan bagaimana hidup orang yang bahkan senyum pun tidak ia miliki. @aswan

Friday, May 1, 2015

Panggung Satahun Sekali

CERITA tentang buruh selalu ada setiap tanggal 1 Mei. Mereka berkumpul dan datang dari segala penjuru ke ibukota. Sebut saja Jakarta. Jika dirunut ke belakang, tradisi yang kemudian mendunia ini sudah ada sejak 1886. Tetapi bukan itu masalah. Saya melihat May Day yang biasa disebut sebagai Hari Buruh Internasional ini seperti 'panggung'. Buruh butuh itu. Tempat mereka datang, berkumpul, dan bernyanyi. Suara buruh hanya bertahan sampai besok, ketika koran mengabarkan tuntutan mereka. Setelah itu hilang ditelan kesibukan masing-masing. Kesibukan buruh. Kesibukan perusahaan. Kesibukan pemerintah. Kesibukan agenda media yang terus melompat-lompat. Senja 1 Mei seperti janji yang mengingatkan buruh untuk datang, bertamu, dan bernyanyi lagi. Mereka akan kembali nyayikan 'lagu' yang sama tahun depan. May Day itu ritual buruh, bukan tuntutan. @aswan