Wednesday, June 25, 2014

Memenangkan Rasionalitas Cinta



SINGKAT cerita, Sarah (yang diperankan Sandra Bullock) bertemu dengan Ben (Ben Affleck). Pertemuan yang hanya terjadi dua hari itu menggoyahkan niat Ben untuk menikah. Padalah dia sedang dalam perjalanan menuju sebuah kota di mana calon mempelai perempuan beserta keluarganya menunggu karena pernikahan sebentar lagi dimulai. Film berjudul Forces of Nature (1999) berkisah tentang keadaan yang menjadi penghalang sebuah pernikahan. Hujan badai, pohon tumbang, kecopetan dalam perjalanan dan bertemu dengan perempuan lain di saat yang tidak tepat. Perempuan yang membuat Ben sempat jatuh cinta. Sarah juga demikian. Tidak seperti film Hollywood lainnya yang memenangkan perasaan cinta, cerita ini justru mengingatkan pentingnya akal sehat. Cinta tidak mesti selalu diartikan "menjadi bodoh bersama-sama", bukan?! @aswan

Sunday, June 22, 2014

Cinta yang Dikondisikan

MUNGKIN cinta bisa dikondisikan. Maksudnya manusia dapat menciptakan sebuah keadaan yang memungkinkan tumbuhnya cinta antara lelaki dan perempuan. Pernah nonton film kartun Doraemon? Yang punya kantung ajaib dan baling-baling bambu itu kan? Right. Kepada siapa Nobita begitu terobsesi? Sizuka! Nah, itu yang saya maksud. Nyambungnya di mana? Begini, karena dalam kesehariannya sang sutradara mengkondisikan Nobita untuk selalu bertemu Sizuka, di situlah tumbuh cinta yang terkondisikan. Padahal sutradara bisa mendekatkannya dengan tokoh anak perempuan lain. Obsesi pada Sizuka seperti ini bisa berdampak sistemik pada tumbuh kembang mental Nobita. Mungkin niat sutradara untuk menggambarkan kesetiaan seorang bocah. Tetapi ini bisa bahaya kalau disalahartikan oleh anak-anak. Sebagai sesama lelaki, saya sangat prihatin. Kasihan Nobita. @aswan

Wednesday, June 18, 2014

Hujan Bulan Juni

NAMANYA Sapardi Djoko Damono. Orang mungkin mengenalnya dari sajaknya yang berjudul Aku Ingin. Yup. Saya juga sepertinya pertama kali suka sama puisinya dari situ. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan..." Indah sih. Apalagi untuk mereka yang sedang kasmaran dan tidak punya cukup nyali menyatakannya. Hehehe... Tapi Sapardi tidak sesederhana kata dalam puisinya tadi. Ia guru besar. Dapat penghargaan di sastra dunia. Sajaknya diterjemahkan ke bahasa bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugis, Arab, China, Jepang, Korea, Thai, dan Hindi. Saya juga baru tahu kalau sajaknya juga ditulis dalam bahasa Jawa dan Bali. "Hujan Bulan Juni" salah satu judul kumpulan puisinya yang beberapa kali diulang cetak. Recommended!  @aswan

Friday, June 13, 2014

Demokrasi: Have Fun

POLITIK itu seni untuk kekuasaan. Orang awam mungkin kelihatannya serius, jadi terlalu berlebihan jika menggunakan kata "seni". Tapi jika perharikan apa di balik politik, kita akan temukan kalau sebenarnya itu hanya "main-main" para elit. Mereka mengajak orang kecil seperti saya dan beberapa lainnya untuk itu bermain. Makin banyak yang ikut "bermain", makin kuat keabsahan hasilnya. Jadi tidak usah berpolitik nih? Eh jangan. Kita mesti ikut dengan segala kesadaran. Kalau apolitik, jangan-jangan kita malah jadi mainan elit. Karena demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan memilih, jadi have fun saja. Serius, tapi tidak serius-serius amat. Dukung siapa calon yang kita suka, tapi tak perlu jadi semacam die hard fans juga. It's just a game. @aswan

Monday, June 9, 2014

Momo dan Raisa

TIAP kali dengar suara Momo (vokalis Geisha) bawakan “Lumpuhkan Ingatanku”, saya selalu ingat Denpasar. Emang ketemuan di sana? Secara resmi tidak, tapi secara teknis sih iya. Di kunjungan kedua saya ke Bali, hits itu booming. Diputar di radio seantero Denpasar. Artinya secara audio, saya 'ketemu' Momo di sana. Halah, ribet! Kenyataannya kan memang begitu. Dan di suatu pagi hujan, setelah membaca artikel tentang Momo, saya tiba-tiba ingin membandingkannya dengan Raisa. Dalam persepsi saya, jika disederhanakan menjadi tiga kata, Raisa itu: perfeksionis, jazzy, friendly. Sementara Momo: lugu, pop, misterius. Kelebihan Momo ada pada karakter vokalnya yang khas. Sementara Raisa punya kemampuan 'mengendalikan' liuk suara. Gimana, sudah terdengar meyakinkan analisisnya? Ini orisinal lho?! ;) @aswan

Sunday, June 8, 2014

Neon in Black

KALAU cara berpakaian itu menjadi salah satu matakuliah, saya termasuk mahasiswa yang akan selalu mengulang. Susah sekali mengkombinasikan pakaian yang enak dipandang. Sulit klik! Mengakurkan baju, celana, dan sepatu yang saya kenakan sama ribetnya seperti menjinakkan tokoh Tuan Krab, Squidward, dan Plankton di kartun SpongeBob. Tidak sadar fashion? Bukan “tidak”, mungkin “belum”. Lengkapnya, belum sadar fashion. Mesti diguyur air apa ya biar siuman? Nah itu dia masalahnya. Sementara ada beberapa orang berpakaian dengan cara memukau meski bahan yang digunakan terlihat biasa saja. Saya juga malah masih belum percaya bisa lihat orang berpakaian ala Neon in Black. Maksudnya, begitu menonjol karena warna atau modelnya, tetapi tetap percaya diri. Mereka makan vitamin apa? @aswan

Saturday, June 7, 2014

Pasang Jempol Saja

BULAN ini kami bertemu sebuah 'mesin'. Teman-teman di kampus menyebutnya "Finger Print". Tapi saya kok lebih suka menamainya: "Finger Scan". Ini mesin absen kedua yang dipasang di Fakultas. Dan saya merasa seperti buruh pabrik. Ciee... yang merasa? Absen pagi dan sore,  setiap hari kerja. Apa itu bukan cara mengukur produktivitas zaman revolusi industri? Jadul banget kan?! Yang nakal, yaa pasang jempol saja. Tidak perlu ngajar. Nanti sore muncul lagi buat ngabsen. Yang rajin seperti saya (ehem), pindai jempol hanya pada saat ada jadwal ngajar. Kalau tidak ngajar, mo ngapain coba? Wi-fi gretong, kantin yang nyaman dan menggoda, apalagi perpustakaan yang penuh dengan atmosfir ilmiah: Nope! Eh ini gerutu rasa curhat ya?!  @aswan

Friday, June 6, 2014

Kaos Merah Kuning

KETIKA militer melakukan kudeta yang ke-12 kalinya pada Mei 2014, ada aturan unik di Bangkok. Jam malam? Yang itu jangan ditanya: pasti ada di setiap kudeta. Jadi? Saya baca di koran kalau masyarakat dilarang berkaos Merah atau Kuning. Itu penanda para pendukung dua kubu yang berseteru di Thailand. Ceritanya nih, tentara di sana keluarkan aturan itu untuk meminimalisir perseteruan antar pendukung elit. Untungnya, rakyat Bangkok cerdas. Dress code tidak penting bagi mereka. Yang dipertanyakan justru alasan tentara lakukan kudeta. Meski rakyat menentang kudeta, Raja malah mendukungnya. Di sana, titah Raja itu mirip wahyu. Ketika tentara berhasil mengambil hati Raja, semuanya akan baik-baik saja. Daaan... pemilu baru akan diadakan setahun kemudian. Taraaaap!!!! @aswan

Thursday, June 5, 2014

Penembakan di Benubenua

HUJAN deras turun saat mobil kami melintas lapangan Benubenua Kendari, Rabu pagi di awal Juni. "Tahun 65, ada pertandingan bola di sini," kata ayah kepada saya sambil menunjuk lapangan itu. Dia mengisahkan, kesebelasan dari Baubau bertanding melawan Kendari. Sesaat kemudian, sedikitnya dua suara tembakan meletus. Pemain bubar. Penonton apalagi. Beberapa pemain lari bersembunyi ke rumah warga. Di sana mereka mengganti pakaian, lalu keluar rumah membaur seperti warga biasa. Gubernur Sulawesi Tenggara Laode Hadi ikut menonton. Sebrutal itu? Meski ada gubernur? Dia bilang, begitulah kondisi era 65an. Beberapa orang miliki senjata api. Selain tentara, para mantan pemberontak DI-TII juga punya. Hufff.. rasanya tidak mudah lewati hidup seperti yang ayah saya pernah jalani. @aswan

Wednesday, June 4, 2014

Si Payung Fantasi

SIAPA gerangan dinda… bidadari dari surga? Ataukah si burung kenari, si pembawa harapan pelipur hati. Kalimat pembuka/penutup tadi/nanti adalah penggalan lagu “Payung Fantasi” gubahan Ismail Marzuki. Mei 2014 ada konser yang digelar untuk mengenang 100 tahun kelahiran komponis hebat ini. Tetapi saya lebih suka menyebutnya jenius, karena komposisi yang digubahnya seolah abadi. Awalnya dibawakan dengan gaya Melayu, seiring waktu, beberapa karyanya masih dapat diterjemahkan dalam beragam bahasa musik, seperti jazz, rock, pop, dan (sudah pasti) keroncong. "Juwita Malam", "Aryati", "Rindu Lukisan", "Bandung Selatan di Waktu Malam" atau "Sepasang Mata Bola". Itu antara lain buah tangannya. Payung fantasi arah kemana dituju, hey-hey tunggu dulu… Bolehkah aku melihat seri wajahmu, hey-hey aku rindu… @aswan

Tuesday, June 3, 2014

Debat yang Hebat

DEBAT itu menguras emosi. Saya lebih suka berdiskusi. Ngaku saja, tidak bisa debat kan? Kok tau? Saya merasa tidak bisa berdebat sejak SMA. Sejak itu pula saya menghindari debat. Apa bedanya debat dengan diskusi? Debat itu targetnya menang. Diskusi tujuannya mencerahkan. Debat libatkan argumentasi dengan warna emosional yang kental. Diskusi juga melibatan argumentasi tetapi dengan kepala dingin dan membuka kemungkinan untuk menerima pendapat pihak lain. Open mind gitu. Tapi label diskusi tidak selamanya "aman". Dalam praktiknya, ada juga diskusi yang menjadi liar dan berkembang menjadi debat. Atas alasan apapun, saya juga tidak berminat menonton debat. Meski gratis? Yup. Kalau dikemas ala battle comic di panggung Stand Up Comedy, itu baru hebat! @aswan

Monday, June 2, 2014

Atas Nama Adrenalin



CEDERA yang akibatkan kematikan adalah risiko terburuk bagi petinju. Bukan itu saja, masih banyak risiko gangguan otak lain yang membayangi mereka. Sebut saja parkinson. Saya sendiri belum dapat menemukan alasan mengapa pertandingan tinju disebut olahraga. Semangat olahraga untuk menyehatkan, bukan? Betul ada risiko cedera di setiap cabangnya, tetapi tidak ada yang seperti tinju: nyaris disengaja. Sudah nonton film Real Steel (2011)? Andai itu betul ada, jadi tidak perlu manusia yang diadu seperti ayam (lalu orang pintar memberinya label “olahraga”). Di atas ring hanya akan ada dua robot yang beradu. Risiko terburuk: robot rusak. Masih bisa diperbaiki atau buat baru lagi. Nyawa dua manusia terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi adrenalin. Ini versi saya. @aswan

Sunday, June 1, 2014

Indah yang Praktis

PRINSIPNYA sederhana: Jangan mengubah bentuk asli. Sulam alis?! Secantik apapun dibuat, bagi saya tidak indah. Implan payudara?! Seproporsional apapun silikon yang ditanam, toh akan ketahuan. Itu juga tidak indah. Maaf karena pengetahuan saya terbatas, hanya itu yang bisa saya sebutkan. Eh tambah satu lagi ding: mewarnai rambut. Terlihat indah sebenarnya praktis. Sepraktis mengenakan pakaian. Semudah memasang sepatu. Semua yang ditakdirkan indah, pasti akan terlihat indah. Butuh pengetahuan juga sih, tapi tidak ribet-ribet amat. Sense of art yang lebih bermain. Bagaimana kalau mencoba tampil apa adanya tetapi tidak terlihat indah (juga)? Jangan salah, itu tetap indah kok. Keadaan itu mengasah keindahan hati karena kita dikondisikan untuk sabar menanggung beban belum terlihat indah. @aswan