AKHIR Maret dan awal April kembali menjadi saat bagi saya untuk bisa berbagi dongeng tentang film. Hari Film Nasional jatuh tanggal 30 Maret. Senang bisa bicara film di rentang hari itu. Ada dua momen yang seru. Setidaknya bagi saya, entah dengan mereka yang mendengarkan ocehan saya. Atau gini deh, anggap saja mereka juga ikut merasakan keseruannya. Jadi saya tidak sok asyik sendiri. Hehehe.... Biar enak nih nulisnya. Deal yaa?! Yuk, lanjut!
Pertama, acara Perjamuan Film Lokal. Tanggal 29 dan 30 Maret, teman-teman komunitas film maker Sulawesi Tenggara menggelar acara pemutaran film dan diskusi. Tema di tahun kedua ini tentang nilai jual sebuah hobi. Saya diminta untuk mendonggeng tentang tema itu. Bisa ditebak, ini berangkat dari asumsi bahwa film sebagai hobi bukanlah sebuah hal yang akan menguntungkan secara komersial. Sebenarnya tugas saya berat juga, karena harus meyakinkan mereka bahwa film sebagai hobi itu memiliki prospek bisnis yang baik.
Mudah-mudahan mereka paham waktu saya bilang: "Buatlah apa yang kita bisa jual, jangan jual apa yang bisa kita buat". Kalau kita menjual film yang bisa kita buat, risikonya besar. Belum tentu film kita laku. Tetapi sebaliknya, jika kita membuat film yang bisa dijual, peluang lakunya ada kan? Makin pandai kita melihat selera pasar, makin besar peluang film kita laku. Saya yakin mereka yang hadir di malam tanggal 30 Maret itu, bukan semuanya tertarik pada membuat film. Mereka bisa saja hanya suka nonton film. Lalu apa yang dapat mereka buat?!
Banyak. Mereka tidak perlu jadi film maker. Mereka bisa menjadi bagian dari lingkar pendukung. Misal, jadi penulis skrip atau pemasar. Jika mau, mereka juga bisa jadi analis atau reviewer film. Itu menghasilkan. Kembali lagi ke rumus awal: Kemampuan melihat potensi pasar. Sekedar gambaran, penulis skrip sinetron bisa dihargai 3 sampai 6 juta per episode. Silahkan dihitung jika jadi penulis cerita untuk sinetron kejar tayang atau serial.
Jika kebetulan latar belakang studi kita saat ini berbeda dengan apa yang dituntut oleh film, jangan khawatir. Karena beberapa orang terkenal justru karena mereka berkarya di luar latar profesinya. Seperti Ika Natassa, seorang penulis yang justru bekerja di sebuah bank. Atau sang legenda cerita detektif, Agatha Christie yang adalah seorang apoteker. Perbedaan latar belakang ini justru yang memotivasi kita untuk mendalami apa yang menjadi minat kita, juga memperkaya pengalaman dan menjadi sumber inspirasi. Satu lagi, film akan menjadi sebuah zona pelarian yang produktif sekaligus asyik.
Itu tadi momen pertama. Nah di momen kedua, saya mendongeng di komunitas mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, tanggal 1 April kemarin. Senang dengan antusiasme mereka. Dongeng saya sangat teknis sih: Dasar Tata Kamera. Meski mikro, saya menaruh harapan yang besar di kelas ini. Mereka dapat menjadi agen pencerahan Islam (yang selama ini masih tampil dengan wajah sangar dan intoleran). Sudah cukup lelah kita hidup dengan politik berkedok Islam atau bisnis perjalanan ibadah yang dalam praktiknya justru jauh dari nilai-nilai Islam. Anak-anak muda ini dapat menyajikan wajah baru Islam dengan film.
Film memiliki daur hidup yang lebih lama dibandingkan dengan medium lain. Film dapat diputar di bioskop alternatif, komunitas-komunitas, diikutkan pada festival, hingga diunggah ke internet yang dapat disaksikan (juga dibagikan) ke lebih banyak orang. Dengan karakter seperti ini, kerja mulia mereka dapat memberi manfaat yang lebih besar. Silahkan para penceramah berdakwah dengan ayat dan hadist. Mereka cukup berbagi nilai-nilai substansi mulia dari Islam. Kebaikan, kearifan, memaafkan, belas kasih, empati, atau nilai persaudaraan sebagi sesama manusia. Saya bermimpi, kelak mereka dapat membawa wajah Islam yang sesungguhnya sebagai karunia (rahmat) bagi seru sekalian alam. Amin. @aswan
No comments:
Post a Comment