Saturday, June 25, 2016
Dalam Sepotong Hujan
GERAI makanan cepat saji yang terdekat yaa cuma ini. Di sini dia duduk menghadapi menu yang itu-itu saja. Tidak berubah. Dia sempat berpikir: “Andai ada pelayan yang sedikit meluangkan waktu untuk memperhatikan, tidak perlu berucap apa yang akan aku pesan. Berdiri di tempat pemesanan. Bayar. Tunggu sebentar… dan taraaaap… menunya sudah siap. Tapi memangnya ada yang peduli?!” Dia tiba-tiba tersenyum, mengakhiri lamunannya.
Dari tempat dia duduk, terlihat seorang perempuan muda masuk melewati pintu kaca. Berkerudung dengan rok panjang mengembang. Sepatunya yang bergaya sneakers sesekali terlihat menyembul dari ujung rok saat melangkah. Kulitnya putih. Wajahnya tampak sangat bahagia. Ada rona merah di kedua pipinya. Eaalaaah… Pantas perempuan itu sumringah. Seorang lelaki sudah menunggunya. Mereka duduk hadap-hadapan. Langsung bercakap dan tertawa lepas. Dari jarak tiga meja, dia bisa melihat sepasang mata perempuan muda itu berbinar. Ah, kenapa ia terlihat elok?
Di luar gerai, hujan mulai turun. Kota J memang sering hujan saat sore. Sekali lagi dia tersenyum. Seketika penggalan di novel Laksmi Pamuntjak muncul di kepalanya: “..selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan”. Betul. Kini dia dipaksa oleh hujan untuk mengingat seseorang. Perempuan yang pernah jadi kekasihnya, suka hujan.
Sambil menikmati potongan-potongan kentang yang digoreng renyah, otaknya diam-diam berjalan. Mengumpulkan potongan-potongan ingatan tentang kekasihnya. Dulu. Mereka biasa menghabiskan sore dengan berbagi cerita. Seperti si cantik dan lelaki itu tadi. Di mana saja, asal berdua. Entah di mana sekarang perempuan yang setiap hari tak pernah berjarak dengannya itu. “Hai kamu!” dia menyapa dalam hati, “Aku dan kamu dulu sering berbagi cerita tentang kesunyian. Kini aku dan kesunyian yang berbagi cerita tentang kamu. Bagaimana kabarmu sore ini?”
Sebelum saling bertemu, sebenarnya mereka sudah lebih dulu berteman dengan sunyi. Seperti Mak Comblang, kesunyianlah yang kemudian mempertemukan mereka. Dia berhutang budi pada sunyi (yang kini kembali menjadi sahabatnya). Persahabatan yang aneh. Mungkin begitu juga cara kekasihnya dulu begitu jatuh cinta pada hujan. Dia bahkan menyebut kekasihnya itu si Peri Hujan.
Dari pintu kaca gerai, kini beberapa orang masuk dengan jejak basah hujan di bahu. Sementara si molek tadi masih asyik sendiri. Memainkan jari, seperti ingin melukis setiap lekuk mata, hidung, bibir, pipi dan dagu lelaki yang tak bergeming di hadapannya. “Sudah, biarkan saja. Mereka sedang kasmaran. Kamu seperti tidak pernah jatuh cinta saja!” Suara kecil dalam benak mengejeknya untuk berhenti memperhatikan.
Kentang dan teh hangatnya telah tandas, tak bersisa. Tapi hujan di luar makin deras. Dia tak dapat ke mana-mana. Mungkin ini alasan yang baru disadari mengapa kekasihnya yang dulu itu disebutnya si Peri Hujan. Hujan adalah sepotong kenangan yang membuatnya tak bisa pulang. @aswan #fiksiku
Labels:
fantasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Potongan-potongan kentang...
ReplyDelete