SORE di Stasiun Pondok Cina. "Hai Bang, masih kenal saya?"
Aku tersenyum dan berdiri dari tempat duduk, "Arif kan?" Kami bersalaman. "Ayo duduk sini, sambil nunggu ada kereta yang lengang," kataku sampil menunjukkan sisi bangku yang kosong di peron.
"Iya Bang. Saya Arif yang bulan lalu itu ketemu Mas di sini. Wah kita jodoh rupanya," dia senyumnya begitu lebar. Nyaris seperti kepingin tertawa senang.
"Stop. Kok jodoh?! Saya sukanya sama perempuan yaa Rif. Bukan laki."
"Hehehe... Bang Aswan ini. Maksudnya kita masih dipertemukan. Gitu lho."
"Nah kalo gitu, oke. Hehehe..." Aku penasaran dengan kehidupannya sebulan setelah putus. Eh tepatnya diputuskan oleh pacaranya. Bulan lalu terlihat sekali dia seperti orang yang sedang niat bunuh diri. "Kamu sudah punya pacar baru?"
Dia menarik napas panjang yang agak lama, lalu menghembuskannya. "Blum, Bang. Belum mau."
"Maksudnya, belum ada yang mau sama kamu, Rif? Hehehe..."
"Yaa belum mau cari pacar dulu Mas. Masih berjuang melawan kenangan."
"Waktu sebulan ga cukup ya?"
"Risiko mencintai sepenuh hati mungkin memang seperti ini. Kadang menurut saya, cinta itu seperti kutukan. Saat kau mencintai seseorang, bersiapkan dengan dua kutukan: bahagia atau derita."
"Sedap. Dalam juga. Nemu di mana kutipan itu, Rif?"
"Barusan lewat di kepalaku."
"Eh jadi sebulan ini kamu merasa sedang berada dalam kutukuan? Siapa yang mengutuk kamu?"
"Ingatan."
Kronis juga anak muda tanggung ini. Meski wajahnya sudah tidak sefrustasi bulan lalu, tapi masih jelas tatapan putus asa di balik matanya.
"Saya merasa dikutuk oleh ingatan, Bang. Setiap tempat yang saya datangi selalu mengingatkan saya ke mantan pacarku itu. Kami kemana-mana selalu bersama. Di stasiun kereta. Toko buku. Kedai kopi atau teh. Warung makan. Naik kereta. Bis. Bajai. Hampir tidak ada jalan yang biasa saya lewati, tidak dengan dia. Dan ketika harus lewati jalan itu atau berada di tempat itu sendiri, rasanya seperti kutukan."
"Kenapa ga cari rute lain?" Aku mengajukan alternatif.
"Mau lewat rute mana, Bang? Rute saya kan emang di sini. Belum lagi setiap benda selalu punya hubungan dengan dia. Buku yang kami beli bersama. Pakaian. Lagu yang kami sukai. Hingga shampo dan minuman instan seperti coklat, teh, atau kopi, selalu ada kenangan tentang dia. Seperti video, ingatan itu seketika muncul ketika benda-benda tadi saya sentuh atau lihat."
Aku coba mengalihkan. "Tapi kamu sudah tidak sefrustasi kemarin kan, Rif? Bagaimana caramu berdamai dengan itu semua?"
"Saya lihat sisi positifnya saja, Bang. Saya kan niat mau nikah dengan dia. Meski sakit, rasanya lebih baik ditinggal sekarang daripada nanti saat emang saya jadian nikah sama dia. Lebih sakit mana?!"
"Iya juga sih," kataku membenarkan. "Tapi buat apa kamu masih menyimpan semua ingatan tentang dia?"
"Sebenarnya ingatan ini saya butuhkan untuk rujukan belajar. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti. Dari melihat, juga dengarkan cerita dari pasangan yang menurut saya langgeng, salah satu rahasianya karena mereka disatukan oleh masa lalu. Kenangan yang membuat mereka kuat. Mereka. Bukan salah satu dari mereka. Jadi keduanya harus punya keinginan untuk selalu bersama."
"Maksudnya?" Aku belum mengerti.
"Ingatan itu dibutuhkan untuk masa depan. Setiap kali ingin pisah atau merasa lelah, mereka selalu melihat ke belakang. Hari-hari yang mereka lewati dengan susah payah dalam cinta. Itu yang saya maksud kenangan yang menguatkan."
Aku tersenyum dengan anggukan kecil. Patah hati rupanya bisa bikin seseorang yang pernah merasa seperti pecundang berubah menjadi filsuf. @aswan
No comments:
Post a Comment