Monday, March 21, 2016

Teman Cerita (Harapan)

SORE di Stasiun Pondok Cina. Dia tersenyum lalu duduk di dekatku. "Lagi nunggu kereta ya, Bang?"
     "Iya," jawabku sambi sedikit tersenyum. Ya iyalah nunggu kereta. Kan ini stasiun kereta. Kalo di bandara ya nunggu pesawat. Aneh juga orang ini. Kenal juga tidak.
     "Saya Arif, Bang," katanya sambil menyodorkan tangan. Aku menyambutnya untuk bersalaman, "Saya Aswan."
     "Saya lagi sedih nih, Bang. Pacar saya tiba-tiba pergi tepat seminggu lalu. Di sini. Iya di stasiun Pondok Cina ini kami berpisah."
     Lho, ini siapa? Kok ente jadi curhat?!
     "Ga apa-apa yaa saya curhat. Habis ga tau lagi mo berbagi sama siapa, Bang. Saya tidak punya sahabat. Teman banyak. Sahabat tempat saya berbagi cerita yaa cuma pacar saya tadi."
     Aku pun mengangguk-angguk, "Ya ga papa." Kasihan juga lelaki tanggung ini. Dia memang butuh teman cerita. "Kenapa dia ninggalin kamu?"
     "Nah itu dia. Itu juga yang aku ingin cerita." Wajahnya mulai antusias. Sepertinya pertanyaan itu yang dia tunggu. Kenapa juga aku memberi umpan segar itu ke dia? "Jadi gini.. Kami pacaran sudah setahun lima bulan. Rasanya kami saling menyayangi. Saling mengenal satu sama lain. Tetapi dalam waktu sekejap dia tinggalkan saya dan memutuskan jalan dengan lelaki lain yang baru dikenalnya empat hari."
     "What?!" Aku membelalak kaget. "Ajaib!"
     "Iya, fantastis! Saya pun masih tidak bisa habis pikir. Kok bisa ya?!" Dia terlihat frustasi sambil mengacak-acak rambutnya.
     "Apa kelebihan lelaki itu yang tidak kamu miliki, Rif?"
     "Mobil pribadi."
     "Hahahaha...," ketawaku pecah. "Itu mah ga usah dibahas. Dia tipe cewek realistis. Sudah lupakan saja."
     "Kok gitu, Bang? Bagaimana dengan kenangan kami? Bagaimana dengan kuatnya perasaan yang selama ini kami rasa?"
     "Tapi buktinya kalian hidup di alam yang berbeda, Rif. Kamu hidup di masa lalu dan hari ini. Perempuan yang kamu anggap jadi belahan jiwamu itu hidup di masa depan. Dia tidak peduli dengan kenangan!"
     Arif mulai terlihat cemas. Beberapa kereta terus datang dan pergi. Sesekali dia mengusap wajah dengan telapak tangan. Kusut. Malam mulai datang.
     "Selain mobil, apa lagi yang dimiliki lelaki yang dipacari mantanmu itu?"
     Arif terdiam. Seperti coba mengingat sesuatu. "Oh ya, mantan saya itu bilang kalo lelaki yang sekarang jadi cowoknya itu bisa memberi dia harapan untuk hidup seperti yang dia impikan. Segera menikah. Sementara sama saya, ga ada kepastian sama sekali. Padahal saya sudah punya rencana untuk menikah dengan dia. Cuma belum saya sampaikan. Takut dibilang PHP. Saya kepingin persiapan sudah capai tujuh puluh persen dulu baru, baru bilang itu ke dia. Toh selama ini kami aman-aman saja. Tidak pernah bertengkar. Minggu lalu malah kami nyanyi bareng di tempat karaoke. Bahagia. Tertawa lepas."
     "Taruhan, pasti mantan cewekmu itu bukan anak Filsafat. Iya kan?!" Aku sok menebak.
     "Iya, Bang. Dia dulu kuliah di eksak dan suku buku. Emang apa hubungannnya?"
     "Kalau dia anak Filsafat, atau minat pada filsafat, dia akan tahu kalau harapan itu tetap adalah bentuk ketidakpastian tapi dalam kemasan yang lebih menarik." @aswan


No comments:

Post a Comment