AWAL bulan Januari ini, saya menyempatkan diri ke Makassar. Anak dari kakak sepupu yang akan nikah. Sungguh tidak ada hubungannya dengan teori konspirasi sebenarnya. Tetapi entah mengapa, secara auditif, saya percaya teori konspirasi itu ada. Semacam ada kekuatan di luar kendali yang mengatur audio yang terdengar sepanjang kunjugan saya ke Makassar. Ibarat film, adegan demi adegan yang saya perankan selalu berlatar lagu atau musik yang senada dengan apa yang ada dalam kepala saya. Seperti playlist yang secara otomatis dapat membaca dan menyediakan audio yang pas suasana hati.
Awalnya saya berpikir itu kebetulan saja. Ketika tiba di Bandara Sultan Hasanuddin bertemu dengan teman yang hendak ke Kualalumpur untuk urusan studi doktoral. Alunan musik tradisional Bugis Makassar terdengar merdu di sana. Instrumen yang sama juga saya dengarkan di rumah para mempelain. Tapi saya pikir itu wajah karena by design. Sesuatu yang dengan sengaja diperuntukkan bagi para pengunjung agar merasakan atmosfir budaya Sulawesi Selatan. Ini menjadi berbeda saat saya sudah berada di mobil dan di pusat perbelanjaan.
Di mobil, stasiun radio FM yang saya pilih memutar lagu yang selalu pas dengan suasana hati saya saat menapak tilas beberapa sudut kota Makassar. Kota ini yang menjadi tempat pembentukan kemandirian dan kematangan keahlian dan intelektual saya selama lebih sepuluh tahun. "Mungkin karena kamu memilih stasiun radio yang memutar lagu di era 90an?!" kata suara yang menolak teori konspirasi yang saya sebut tadi. Tapi bagimana dengan pusat perbelanjaan. Mereka tahu dari mana saya sedang memikirkan atau berada dalam suasana hati tertentu? Semesta tampaknya memiliki caranya sendiri untuk tetap mengingatkan bahwa meski sendiri, saya adalah bagian dari jagat. Kita adalah bagian dari satu rencana besar, grand design yang digagas dan dijalankan sang Waktu. @aswan
No comments:
Post a Comment