Tuesday, December 29, 2015

Percakapan di Bangku

SUARA perempuan di seberangnya terdengar lirih, "Mengapa kau tak ingin kita menikah?" Dengan nada yang dibuat setenang mungkin, lelaki itu mulai menjawab. "Dari awal aku menyayangimu dengan tulus. Tidak peduli dengan siapa kamu pernah dekat bahkan berbagi hidup. Tetap tidak ada bedanya bagiku."

"Lalu masalahnya di mana? Kamu tidak ingin berkomitmen? Fine. Aku tidak membutuhkan itu. Menikah saja sudah cukup bagiku," katanya. Lelaki itu menghela nafas. "Saat menikah, rasa sayang turun menjadi cinta. Cinta adalah kasih yang bersyarat karena nikah menitipkan peran. Peran mewajibkan hak dan kewajiban: seperti halnya cinta."

"Bagaimana kalau aku tak butuh peran itu? Menikah ya menikah. Kau tidak harus berperilaku layaknya suami. Aku mencari nafkah sendiri. Aku dapat hidup mandiri. Aku pun tidak menuntut anak darimu. Apa itu semua masih belum cukup?!" Tuut... Tuuut... Tuuuut... Tuuuuut... Telepon terputus.

Mungkinkah dalam pernikahan peran-peran itu dapat dihapuskan? Kalau dapat diabaikan, masih layakkah itu disebut pernikahan? Bagaimana agar cinta yang menuntut imbal balik, dapat bermetamorfosis kembali menjadi sayang yang tak bersyarat? Dalam bingung, banyak tanya yang berputar-putar kepalanya. Ada suara yang berbisik, "Why don't you try?" Lelaki itu tersenyum, "Nikah kok pake coba-coba!" Suara tadi menyambar, "Bukankah semua hal dalam hidupmu diawali dengan mencoba?!"

Lelaki itu diam. Duduk di bangku yang menghadap laut. Menghirup hening. Dari jauh lampu kapal terlihat berkedip seperti berlomba dengan bintang yang menggantung di atasnya. Ia membiarkan angin malam yang dingin, mendekap. Menghentikan debat dengan diriya sendiri karena dia cuma ingin menyayangi kekasihnya lebih lama. Tanpa syarat. @aswan

No comments:

Post a Comment