Sunday, August 23, 2015

Gawai yang Abadi

GADGET (baca: gawai) bukan trend saat smartphone mulai hadir. Jaman dulu gawai sudah dikenal. Hanya bentuk dan fiturnya yang berbeda. Kakek ibu saya pernah mewariskan sebilah keris di tahun 1990an. Jujur, saya bingung. Ini buat apa? Di mata saya saat itu, keris adalah simbol kekerasan. Paling tidak, yaa.. dapat digunakan untuk membela diri. Tapi apa iya kemana-mana saya harus membawa keris? Butuh waktu 25 tahun buat otak saya yang bebal ini untuk menyadari bahwa saya semestinya menyimpan baik-baik keris itu tapi dengan alasan historis yang satu ini.

Di masa kakek atau kakek dari ibu saya, keris adalah serupa dengan smartphone yang saya bawa. Setiap pria dewasa harus memilikinya. Itu simbol atas status dan sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan pada zamannya. Malah menurut saya, keris jauh lebih personal. Bentuk dan fiturnya dapat sesuai keinginan si pemilik. Berbeda dengan smartphone yang cenderung seragam. Saya tiba-tiba membayangkan bagaimana reaksi cucu saya kelak, atau mungkin cucu dari cucu saya. Bisa jadi smartphone saya saat ini dilihatnya sebagai simbol kebodohan kakek moyangnya. @aswan

Friday, August 21, 2015

Saya Menyebutnya "Dinamika"

SELAMAT Hari Jadi Pernikahan yang ke-41. Panjang umur, sehat dan saling sayang selalu. Itu petikan pesan singkat (sms) yang saya kirim ke Ayah dan Ibu. Mereka tumbuh dalam dinamika. Dulu saya menyebutnya konflik. Rasanya tidak nyaman selalu saja ada yang dipersoalkan dengan sengit. Hari-hari tak ubahnya sinetron bersambung yang penuh drama. Dalam imajinasi ideal saya saat kecil, pernikahan itu harus tenang... adem... tidak ada krasak-krusuk. Mulus meluncur seperti perahu di atas arus sungai yang tenang. Tetapi saat beranjak dewasa, saya makin sadar kalau dinamika itu alamiah. Memang sulit untuk dibahasakan. Tetapi saat Anda dewasa dan menikah, pengalaman atas dinamika itu tentu akan Anda temukan. Menikah memang tidak menjanjikan Anda akan bahagia. Tetapi bukankah hidup sendiri pun tidak memberi garansi bahwa kita akan selalu terbebas dari masalah? Jadi.. dinikmati saja. @aswan

Monday, August 17, 2015

Yang Melawan Sepi



RASANYA seperti setema dengan Lost in Translation (2003), film Her (2013) juga mengangkat kisah tentang kesepian di tengah hirup-pikuk kota. Bedanya, dalam "Her", cinta terjalin bukan antara dua orang yang kesepian, tetapi antara Theodore (diperankan Joaquin Phoenix) dan sebuah Operating System (OS) bernama Samantha. Masih miliki kemiripan, baik "Lost in Translation" maupun "Her", keduanya diperankan Scarlett Johansson. Dan sekali lagi bedanya, dalam "Her", perempuan cantik berambut blonde ini hanya memainkan suaranya. Menurutku dia berhasil memainkan suaranya. Bagi sebagian orang, mungkin film ini membosankan. Sebagian besar berisi monolog dengan frame-frame kesunyian di sebuah kota masa depan (sebenarnya film ini berlatar kota Shanghai). Warna-warna cerah yang ditampilkan kombinasi merah dan kuning, namun tetap terkesan sendu.

Tapi menurut saja, sang sutradara dan penulis cerita (Spike Jonze) berhasil menyulap monolog menjadi dialog yang hidup. Pantas ia diganjar Oscar 2014 untuk kategori Best Writing. Simaklah, meski hanya sebuah OS, di tangan Jonze tokoh Samantha itu terasa ada. Dia seperti seorang wanita menarik yang cerdas di ujung telepon. Film ini memang mengangkat tema gila, tetapi tidak mustahil akan terjadi di masa dapan ketika manusia lebih merasa dekat –bahkan jatuh cinta– dengan komputer daripada manusia. Saya suka petikan ucapan Amy (pada Theodore): "I think anybody who falls in love is a freak. It's a crazy thing to do. It's kind of like a form of socially acceptable insanity". Yaa begitulah. @aswan