RASANYA seperti setema dengan Lost in Translation (2003), film Her (2013) juga mengangkat kisah tentang kesepian di tengah hirup-pikuk kota. Bedanya, dalam "Her", cinta terjalin bukan antara dua orang yang kesepian, tetapi antara Theodore (diperankan Joaquin Phoenix) dan sebuah Operating System (OS) bernama Samantha. Masih miliki kemiripan, baik "Lost in Translation" maupun "Her", keduanya diperankan Scarlett Johansson. Dan sekali lagi bedanya, dalam "Her", perempuan cantik berambut blonde ini hanya memainkan suaranya. Menurutku dia berhasil memainkan suaranya. Bagi sebagian orang, mungkin film ini membosankan. Sebagian besar berisi monolog dengan frame-frame kesunyian di sebuah kota masa depan (sebenarnya film ini berlatar kota Shanghai). Warna-warna cerah yang ditampilkan kombinasi merah dan kuning, namun tetap terkesan sendu.
Tapi menurut saja, sang sutradara dan penulis cerita (Spike Jonze) berhasil menyulap monolog menjadi dialog yang hidup. Pantas ia diganjar Oscar 2014 untuk kategori Best Writing. Simaklah, meski hanya sebuah OS, di tangan Jonze tokoh Samantha itu terasa ada. Dia seperti seorang wanita menarik yang cerdas di ujung telepon. Film ini memang mengangkat tema gila, tetapi tidak mustahil akan terjadi di masa dapan ketika manusia lebih merasa dekat –bahkan jatuh cinta– dengan komputer daripada manusia. Saya suka petikan ucapan Amy (pada Theodore): "I think anybody who falls in love is a freak. It's a crazy thing to do. It's kind of like a form of socially acceptable insanity". Yaa begitulah. @aswan
No comments:
Post a Comment