LUPA, sudah berapa lama saya tidak membuka akun Path. Yang saya ingat, saat membukanya, perhatian sebagian besar teman-teman Path saya tertuju pada Kartini. Mungkin hari itu 22 April. Saya percaya niat mereka baik. Tapi ada beberapa hal yang jadi menggelikan. Apalagi pas saat lihat foto cowok berbatik dan menyampaikan Selamat Hari Kartini. Entah apa yang ada di benak mereka. Mungkin latah. Atau mungkin juga mereka sudah membaca catatan-catatan Kartini (dan terpesona). Di sini, saya ingin mengajukan beberapa nama perempuan Indonesia yang lain. Mereka punya kehebatan yang boleh diadu dengan Kartini. Ini versi saya lho yaa... jadi silahkan kalau tidak setuju. Hehehe...
Kartini menjadi spesial di tahun ini karana tayang film yang juga berjudul Kartini. Dian Sastrowardoyo didaulat oleh sutradara Hanung Bramantyo untuk menjadi Kartini. Dan ini komentar seorang teman (yang tidak ingin disebutkan namanya) setelah nonton film itu: "Mungkin agak beda sudut pandangnya sama yg lainnya.... ada detil kecil2 yg agak mengganggu spt portable AC di pojokan ruangan yg disulap jadi entah apalah maksupnya ketika acara di Semarang... sisipan2 gambar alam yg saya kurang paham tujuannya karena transisi yg mendadak. Dan satu hal kecil paling krusial yg saya rasakan: Kartini berhasil karena laki2. Pertama, ayahnya yg mempublikasikan artikel pertama Kartini dengan namanya, dan sekolah Kartini terwujud ketika Kartini menikah dengan suaminya.... hmmmm.... berarti perempuan tidak bisa berhasil tanpa restu dan jalan dari laki2...?"
Jadi gini... (dengan sok tahunya, saya pun menjelaskan): Beberapa film tema biografi seperti itu masalahnya selalu sama yaitu proses adaptasi dari materi teks menjadi audiovisual. ... Cara sutradara menerjemahkan film ke dalam bahasa gambar, memang kadang bikin kesal. Menghadirkan masa lalu itu tidak mudah, khususnya properti juga kostum. Meski sepele tapi itu bisa mengganggu. Sekali lagi film itu salah satu agen sejarah. Tanpa kita sadari, sutradara berperan sebagai penutur (baca: Guru Sejarah) di belakang layar. Bisa jadi sih "iya", Kartini setenar itu karena dapat "restu" dari lakilaki. Jadi di balik perempuan yang sukses, (dengan sok tahu, saya pun menyimpulkan) ada lakilaki hebat yang mendukungnya. Hehehe..
Saya sendiri tidak merelakan diri terhipnotis dengan nama-nama besar lain yang juga dihadirkan dalam film itu. Sebut saja Deddy Sutomo, Christine Hakim, Reza Rahadian dan seterusnya. Karena esensi film ada pada kemampuannya dalam bertutur dan menggiring penonton menuju kesadaran tertentu. Saya belum temukan itu di film Kartini. Saat lihat Christine Hakim, saya justru terkenang film Tjoet Nja' Dhien yang menjadi film terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1988. Christine Hakim diganjar Pemeran Wanita Terbaik. Bukan itu saja, enam kategori lain juga diborong film ini: Sutradara Terbaik (Eros Djarot), Skenario Asli Terbaik (Eros Djarot), Cerita Asli Terbaik (Eros Djarot), Tata Sinematografi Terbaik (George Kamarullah), Tata Artistik Terbaik (Benny Benhardi), hingga Tata Musik Terbaik (Idris Sardi). Bahkan film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes, Prancis tahun 1989.
Mengapa narasi Kartini lebih menonjol daripada Cut Nyak Dhien? Boleh jadi karena Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional dan sekaligus menetapkan hari lahirnya yaitu tanggal 21 April diperingati setiap tahun sebagai hari yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Ia disebut sebagai pejuang emansipasi wanita. Meski di tahun itu, Cut Nyak Dhien juga diberi gelar yang sama atas jasanya memimpin gerilyawan Aceh yang melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda tahun 1904.
Cut Nyak Dhien (1848-1908) memang lebih heroik. Tapi ada poin yang membuatnya kalah dalam kompetisi naratif dibandingkan dengan Kartini (1979-1904)? Kecantikan? Bukan. Cut Nyak Dhien tidak kalah cantik. Kebangsawanan? Eh jangan salah, Cut Nyak Dhien juga bangsawan. Ia masih keturunan Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman (Sumater Barat). Kecerdasan? Helllloooow... masih kurang cerdas apa seorang panglima perang? Bahkan lebih dari sekedar cerdik. Dia tidak hanya punya pemahaman yang luas atas medan perang, strategi tempur, dan psikologi musuh, tetapi juga keberanian, kepemimpinan, dan kekuatan. Paket komplit. Jika ada satu hal yang membedakannya dengan Kartini, mungkin karena Cut Nyak Dhien tidak pernah curhat (kapada dunia).
Selain melahap buku-buku, koran, dan majalah berbahasa Belanda, Kartini juga rajin berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa untuk mengungkapkan apa yang ia pikirkan, apa yang ia rasakah. Adalah Jacques Henrij Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1900-1905), yang kemudian mengumpulkan dan membukukan surat-surat tersebut. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang dikenal sebagai "Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Ini bagian dari proyek kebijakan Politik Etis Belanda. Konon buku tersebut dicetak sampai lima kali.
Barangkali ada yang berargumentasi bahwa ini bukan tentang curhat, ini tentang perjuangan kesetaraan gender yang justru di situ Kartini tampil sebagai pionir (karena itu wajar kalau dia dikenang). Tapi tunggu dulu, Kartini dan Cut Nyak Dhien hidup di era yang sama. Bedanya, persoalan kesetaraan itu hanya (maaf) milik budaya tertentu yang entah mayoritas atau bukan. Yang pasti beberapa budaya di luar Jawa, emansipasi itu bukan masalah. Di Aceh Cut Nyak Dhien memimpin pasukan. Di Maluku ada Martha Christina Tiahahu (1800-1818). Di Sumater Barat, budayanya bahkan matrilinear. Dalam peradaban Buton pada masa lampau, bahkan seorang yang ingin dilantik untuk posisi setingkat kepala desa sekalipun, bisa ditunda atau bahkan dianulir jika tidak mendapat izin dari istrinya. Kerajaan Buton pernah dipimpin oleh dua orang Ratu (Wa Ka-aka dan Bulawambona). Setelah kerajaan berganti menjadi kesultanan, memang tidak ada lagi Sultan perempuan, tetapi izin perempuan masih diberlakukan di setiap posisi jabatan publik.
The Power of Curhat. Itu salah satu kunci mengapa Kartini dikenal dan dikenang. Dia meninggalkan 'warisan' terdokumentasi. Jadinya lebih awet. Apa karena dia pandai membaca dan menulis? Tidak juga. Karena tokoh seperti Emmy Saelan (1924-1947) atau Marsinah (1969-1993) pun pandai membaca dan menulis. Tetapi mereka tidak meninggalkan ide yang bisa untuk selalu direproduksi. Mereka hanya meninggalkan semangat perlawanan, semangat pembebasan. Kedunya seperti terlahir sebagai martir. Mereka sangat militan justru saat kesetaraan perempuan dan lakilaki bukan menjadi hal yang masih harus diperdebatkan lagi. Saya tidak ingin katakan Kartini lebih hebat daripada dua perempuan tadi, tetapi perlawanan yang mereka lakukan tidak lebih mudah daripada yang dilakukan Kartini.
Eh, saya tiba-tiba khawatir, mungkin suatu saat (jika) ada yang membaca tulisan ini, dia akan bertanya: Siapa itu Emmy Saelan, siapa itu Marsinah?! @aswan
No comments:
Post a Comment