JELANG kemerdekaan, Agus Salim masuk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang bersidang sejak akhir Mei 1945. Bersama delapan orang lainnya antara lain Soekarno, Hatta, dan Wachid Hasjim (ayah Gus Dur) mereka merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila dan tertera pada Pembukaan UUD 1945. Dia adalah satu dari beberapa orang yang sepakat untuk tidak memasukkan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Alasannya, ada atau tidak kalimat itu, umat Islam wajib menjalankan syariatnya. Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia Merdeka. Anehnya, dia tidak termasuk dalam nama-nama anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menindaklanjuti kerja BPUPKI.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Agus Salim pertama kali masuk pemerintahan sebagai Menteri Muda Luar Negeri nanti di Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 sampai 2 Oktober 1946). Ia berhasil melakukan lobi internasional yang membuahkan pengakuan Liga Arab pada 18 November 1946 atas kemerdekaan Indonesia. Menyusul dukungan resmi beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir (Maret 1947), Libanon (Juni 1947), Suriah (Juli 1947), Irak (Juli 1947), Arab Saudi (November 1947) dan Yaman (Mei 1948). Dukungan tadi yang membuka jalan bagi Indonesia untuk dapat mengikuti Sidang Dewan Keamanan PBB di New York pada Agustus 1947. Karir tertingginya di kabinet adalah sebagai Menteri Luar Negeri. Pertama, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947). Kedua, di Kabinet Hatta (1948-1949).
Agus Salim dan keluarganya hidup nomaden. Puluhan kali berpindah rumah. Tidak jarang dalam sebulan harus pindah lebih dari sekali. Hidup sederhana (mungkin tepatnya miskin) sebenarnya nyaris tidak masuk akal untuk orang sekelas Agus Salim. Tapi kenyataannya, keluarga Agus Salim terbiasa menikmati nasi tanpa lauk. Cukup dicampur kecap. Pada satu kesempatan Agus Salin bahkan tidak punya uang untuk membeli kain kafan saat salah seorang anaknya meninggal. Dia hanya mengambil kain kelambu dan taplak meja yang ada, mencucinya hingga bersih untuk bisa digunakan membungkus jenazah. Ekonomi lagi sulit. Dia menolak seseorang yang memberikan kain baru. Katanya, masih banyak orang hidup yang lebih membutuhkan kain itu.
Hingga wafat 4 November 1954, keluarganya masih tinggal di rumah sewa. Soekarno pernah membelikannya sebuah rumah, tapi harus dijual karena menjadi langganan banjir. Sebenarnya Agus Salim bisa hidup mapan. Pernah menjadi Konsulat Belanda di Jeddah (sejak 1906) dan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Belanda menjanjikan hidup enak, bukan? Tapi tahun 1912 dia memutuskan berhenti bekerja pada Belanda dan memilih untuk terlibat dalam pergerakan kemerdekaan.
Selain jenggot dan kaca mata, peci serta rokok kretek adalah ciri khasnya. Peci hitam selalu dikenakan Agus Salim sejak bergabung di Sarekat Islam pada era 1930-an. Tentang rokok, Agus Salim kadang nyentrik. Dia tidak segan merokok di hadapan Pangeran Philip saat penobatan Ratu Elizabeth Inggris. Pun ketika diminta jadi pengajar Islam di Universitas Cornell (Amerika Serikat), Direktur Program Asia Tenggara yang mengundangnya justru harus menjamin kalau Agus Salim selalu bisa merokok. Dia tidak mungkin memulai kelas kalau tidak merokok. Tapi ada juga untungannya. Saat ruang kuliah dipindahkan, mahasiswa yang telat cukup mengikuti bau kreteknya. @aswan (baca juga: Grand Old Man)
No comments:
Post a Comment