Tuesday, August 16, 2016

Grand Old Man



AGUS Salim tidak bisa selincah Soekarno, Hatta, Sjahrir dan kawan-kawan seangkatan mereka. Saat Indonesia merdeka, Agus Salim sudah memasuki usia 61 tahun. Dia lahir di Kota Gadang, Sumatera Barat 8 Oktober 1884. Usianya hampir 20 tahun lebih tua dari nama-nama tadi. Tidak heran dia dijuluki “The Grand Old Man” oleh Soekarno. Agus Salim menguasai 9 bahasa asing (ada pula yang menyebut 11), diantaranya Belanda, Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan Turki. Dia adalah politisi Indonesia yang paling bagus bahasanya (selain Hatta dan Mohammad Yamin).

Sebelum Indonesia merdeka, Agus Salim aktif di Sarekat Islam (SI). Ia begitu dekat dengan pendiri SI, HOS Tjokroaminoto. Meski dekat, bukan berarti ia tidak pernah mengritik Tjokroaminoto. Satu saat ia menyampaikan ketidaksukaannya pada Tjokroaminoto yang membiarkan cara orang-orang ‘mendewakannya’. Bahkan ada yang merunduk ke tanah dan mencium kakinya. Bukannya marah, Tjokroaminoto malah menerima Agus Salim sebagai orang kepercayaannya. Tjokroaminoto dan Agus Salim kemudian dikenal sebagai dwitunggal dalam SI.
Menggantikan Tjokroaminoto sebagai pemimpin SI tidaklah mudah bagi Agus Salim. Ia menggagas disiplin partai untuk membersihkan SI dari infiltrasi komunis. Sejarah mencatat bahwa ada dua warna dalam SI, yaitu SI Putih yang berhaluan Islam berkedudukan di Yogyakarta dan SI Merah yang berorientasi pada komunis berkedudukan di Semarang. SI Merah di bawah pengaruh Semaoen, Pemimpin SI Semarang sekaligus Pemimpin Serikat Buruh Kereta Api.

Meski berhasil bersihkan SI dari warna ‘merah’, tapi pada akhirnya Agus Salim harus keluar dari SI karena sikapnya yang memilih jalur kooperatif dengan Belanda. Saat itu SI telah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dia dipecat oleh adik Tjokroaminoto yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah PSII. Tahun 1937 Agus Salim dan yang sehaluan dengannya membentuk partai baru: Partai Pergerakan Penyadar. Dalam waktu singkat telah memiliki 52 cabang. Sayangnya pengaruh partai baru ini memudar saat Jepang masuk. Murid-muridnya seperti Mohamad Roem, Mohammad Natsir, dan Kasman Singodimedjo yang melanjutkan pemikirannya yang kemudian menjadi platform Partai Masyumi, partai terbesar kedua di awal kemeredekaan.

Agus Salim juga adalah seorang jurnalis. Tahun 1926 pernah mundur sebagai Pemimpin Redaksi dari koran “Hindia Baroe” karena pemiliknya meminta Agus Salim agar lebih lunak kepada Belanda. Di koran “Neratja” dia menolak subsidi yang ditawarkan Belanda agar meredam perilaku oposan. Dari “Neratja”, dia ke “Bendera Islam” di Yogyakarta. Koran ini tutup karena masalah keuangan. Buah dari kongres Islam di Mekkah tahun 1927, Agus Salim berhasil meyakinkan Raja Saudi dan mendapat bantuan untuk mendirikan koran “Fadjar Asia”. Hemat saya, sikapnya yang memilih untuk kooperatif dengan Belanda saat di PSII hanyalah strategi pergerakan saja. Ada saat Agus Salim merasa harus bekerja sama, ada pula harus melawan.

Di “Fajar Asia” liputannya di Jawa, Sumatera dan Kalimantan tentang buruh yang tenaganya diperas dan diupah sangat minim, menarik perhatian dunia. Ini bisa terjadi karena distibusi koran “Fajar Asia” juga mencapai London, Den Haag, Moskow, Mesir, India, dan Cina. Karena itu dia kemudian diminta untuk jadi panelis pada Koferensi Buruh Sedunia di Jenewa. Lazimnya konferensi ini diikuti oleh aktivis politik kiri. Ia juga menulis risalah pendek politik, kebudayaan, sejarah, dan terutama agama. Hatta menyebut Agus Salim seorang generalis. Sedikitnya dalam periode 1917-1953 dia sudah menulis 22 buku dan menerjemahkan 12 buku asing. Dua diantaranya karya Shakespeare. 

Salah satu kisah kedekatannya dengan Tjokroaminoto terjadi tahun 1927. Agus Salim harus mengikuti suatu kongres Islam di Mekkah (di mana dia akhirnya berhasil bertemu Raja Saudi tadi). Direncanakan dia akan berangkat menggunakan kapal bernama “Kongsi Tiga” dari pelabuhan Jakarta. Tapi hingga jelang jadwal keberangkatan kapal, dia masih tertahan di Surabaya. Urusan paspor belum selesai. Tanpa sepengetahuan Agus Salim, Tjokroaminoto mengirim telegram ke perwakilan kapal Jakarta. Isinya: jika kapal berangkat tanpa Haji Agus Salim, tahun berikutnya tidak akan ada calon haji yang naik kapal Kongsi Tiga. Saat akhirnya tiba di Jakarta dan naik ke kapal, diadakan pesta penyambutan yang meriah. Sebagai orang biasa, Agus Salim terkejut dan bertanya ke kapten kapal. Sang kapten menjawab: “Tidak mungkin kapal ini tidak menunda keberangkatannya selama dua hari hanya untuk menunggu orang biasa.” @aswan (baca juga: Kretek Sang Diplomat)

No comments:

Post a Comment