Sunday, January 17, 2016

Pahlawan Sejuta Rasa

(c) aswan zanynu

MEREKA yang suka komik atau film, sudah akrab dengan karya dua raksasa pembuat superhero ini: DC dan Marvel. DC Comics adalah penerbit komik Amerika Serika (AS) sejak 1934. Sedikit lebih tua daripada Marvel. Awalnya Marvel yang bernama Timely Publications terbit 1939. Berganti nama menjadi Atlas Comics tahun 1951. Barulah pada 1961 resmi berubah nama menjadi Marvel dan berkantor di New York.

Beda pabrikan, beda superhero yang diproduksi. DC Comics menciptakan tokoh Superman dan Batman. Belakangan ada lahir Wonder Woman, The Flash, juga Green Lantern. Dari mesin Marvel keluar tokoh seperti Spiderman, Hulk, X-Men, Captain America, hingga Ant-Man. Karena sama-sama jagoan, sekilas sulit dibedakan superhero apa, pabrikan mana. Jika sedikit lebih detail, ada beberapa perbedaan mencolok.

Superhero DC Comics dibuat sesempurna mungkin. Nyaris tanpa cacat. Berbeda dengan Marvel yang mencoba tampilkan pahlawan dengan sisi manusiawinya. Jika menyimak kisah mereka, di akhir film biasanya Marvel menyisakan clue tentang seperti apa kisah selanjutnya. Sementara DC lebih membiarkan kita menebak bagaimana cerita film berikutnya. Penonton dibuat penasaran. Superhero mereka dibiarkan penuh misteri.

Jika saat kecil dulu kita suka tokoh superhero bisa jadi karena kerinduan ingin cepat dewasa dan bisa memiliki kekuatan yang tidak dimilik orang lain. Tetapi bagaimana dengan orang dewasa? Menonton film atau membaca komik superhero seperti memasuki dunia lain. Tanpa sadar orang diajak untuk mempersonifikasikan diri atau akrab dengan tokoh yang kita impikan, yang 'sebaiknya' hadir di dunia nyata. Mungkin begitu?! @aswan @aswanpov

Wednesday, January 13, 2016

1975: Tahun Teror

JUDUL ini tanpa sengaja saya temukan di rubrik Tempo Doeloe majalah Tempo. Penasaran, saya pun melakukan penelusuran. Singkatnya, di tahun 1975 ada bom yang meledak di Washington D.C., Paris, London (dua kali dalam tahun itu), dan New York. Peristiwa itu berentetan dari Januari sampai Desember. Aksi teror berupa pendudukan gedung dan penyanderaan juga terjadi di Jerman dan Malaysia. Raja Faisal dari Arab Saudi dibunuh oleh keponakannya pada bulan Maret. Sementara Presiden Banglades Sheikh Mujibur Rahman juga terbunuh dalam kudeta Agustus.

Anehnya, mengapa tahun itu diberi label dengan sesuatu yang negatif? Bukannya banyak hal yang baik-baik yang juga terjadi di tahun tersebut? Tanpa sadar kita menjadi corong buat para teroris. Menjadi megafon untuk membangun dan menghidupkan ketakutan kita itu. Apa karena horor lebih mudah dikenang dan lebih sulit lepas dalam ingatan? Bisa jadi. Mungkin karena romantisme sudah terlalu mainstream untuk jadi penanda zaman. @aswan


Monday, January 11, 2016

Partner in Crime?



SELAIN The Godfather: Part II  (1974), saya terakhir lihat permainan Robert De Niro di film Scent of a Woman (1992). Dan seperti film-film dia lainnya, di The Score (2001) aktor berkarakter ini bermain dengan begitu meyakinkan. Mungkin karena peran antagonisnya? Tidak juga. Di Scent of a Woman kan dia berperan sebagai tokoh tuna netra yang nyleneh?! Saya makin percaya kalau ada aktor yang memang terlahir, bukan diciptakan.

Film The Score bercerita tentang aksi pencurian berencana. Tetapi berbeda dengan film bertema sama yang diproduksi semasa atau setelah 2001. Sebut saja seperti Swordfish, trilogi Ocean’s, The Italian Job, atau Fast & Furious. Film-film yang baru saya sebutkan tadi menekankan penting kejahatan yang terorganisir dan kerja sama tim. Solidaritas, setia kawan dan nilai-nilai mulia lainnya. Di film ini, kejahatan ditampilkan lebih masuk akal. There aren't partners in crime! @aswan


Friday, January 8, 2016

Teori Konspirasi Auditif

AWAL bulan Januari ini, saya menyempatkan diri ke Makassar. Anak dari kakak sepupu yang akan nikah. Sungguh tidak ada hubungannya dengan teori konspirasi sebenarnya. Tetapi entah mengapa, secara auditif, saya percaya teori konspirasi itu ada. Semacam ada kekuatan di luar kendali yang mengatur audio yang terdengar sepanjang kunjugan saya ke Makassar. Ibarat film, adegan demi adegan yang saya perankan selalu berlatar lagu atau musik yang senada dengan apa yang ada dalam kepala saya. Seperti playlist yang secara otomatis dapat membaca dan menyediakan audio yang pas suasana hati.

Awalnya saya berpikir itu kebetulan saja. Ketika tiba di Bandara Sultan Hasanuddin bertemu dengan teman yang hendak ke Kualalumpur untuk urusan studi doktoral. Alunan musik tradisional Bugis Makassar terdengar merdu di sana. Instrumen yang sama juga saya dengarkan di rumah para mempelain. Tapi saya pikir itu wajah karena by design. Sesuatu yang dengan sengaja diperuntukkan bagi para pengunjung agar merasakan atmosfir budaya Sulawesi Selatan. Ini menjadi berbeda saat saya sudah berada di mobil dan di pusat perbelanjaan.

Di mobil, stasiun radio FM yang saya pilih memutar lagu yang selalu pas dengan suasana hati saya saat menapak tilas beberapa sudut kota Makassar. Kota ini yang menjadi tempat pembentukan kemandirian dan kematangan keahlian dan intelektual saya selama lebih sepuluh tahun. "Mungkin karena kamu memilih stasiun radio yang memutar lagu di era 90an?!" kata suara yang menolak teori konspirasi yang saya sebut tadi. Tapi bagimana dengan pusat perbelanjaan. Mereka tahu dari mana saya sedang memikirkan atau berada dalam suasana hati tertentu? Semesta tampaknya memiliki caranya sendiri untuk tetap mengingatkan bahwa meski sendiri, saya adalah bagian dari jagat. Kita adalah bagian dari satu rencana besar, grand design yang digagas dan dijalankan sang Waktu. @aswan


Friday, January 1, 2016

Jeda Jadi Tua

PERGANTIAN tahun 2015-2016 kami sekeluarga menikmatinya di Baubau. Kota di mana saya lahir. Kota dengan pantai yang indah. Gunung dengan lembah yang landai. Sungai dengan air yang bening. Seperti paket komplit. Dan andai reinkarnasi itu ada, saya kepingin dilahirkan di kota ini lagi. Repetitif. Hidup yang akan membosankan untuk dijalani kembali, pastinya?! Hmmm...tidak juga sih, karena ada beberapa hal dari hidup saya yang butuh modifikasi. Salah satunya: Masih kepingin untuk jadi anak yang lebih baik.

Oh ya, yang asyik dari kota ini adalah saya dapat memilih untuk sejenak berhenti menjadi orang (yang) tua. Mendengarkan beberapa cerita dari ayah di ruang tengah yang dituturkan seperti dongeng. Menyimak sambil menyeruput teh panas. Atau mengantar dan berjalan bersisian dengan ibu di pasar tradisional. Benar kata Patrick: Apa enaknya jadi orang dewasa? Pantas SpongeBob sering bilang: Kau jenius Patrick! @aswan